JAKARTA, KOMPAS — Sejarah mencatat, masyarakat Bali menerapkan tata kelola sumber daya air selama berabad-abad tanpa mengalami keterputusan. Mulai Juni hingga Juli 2019, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meneliti kearifan lokal masyarakat Bali dalam hal pemuliaan air secara berkesinambungan.
Jika diamati lebih lanjut, pusat-pusat Kerajaan Bali kuno beserta situs-situs di dalamnya pada umumnya berdekatan dengan sumber-sumber air, seperti pantai, danau, sungai, atau pun mata air. Semua itu didasarkan pada kearifan spiritual lokal Bali tentang pemuliaan air bahwa segala yang padat berasal dari yang cair, dan kepada yang cair itu pulalah segala yang padat akhirnya akan kembali.
Tradisi subak dilandasi falsafah hidup Tri Hita Karana, yaitu menjaga keseimbangan hidup antara manusia, lingkungan alam, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Falsafah ini dipraktikkan dalam pola pengaturan pembagian air yang teratur dan seimbang.
Tingginya penghargaan masyarakat Bali terhadap air tercermin dari peninggalan-peninggalan situs kuno yang ada di sepanjang aliran Sungai Tukad Pakerisan maupun Petanu, berupa petirtaan atau permandian suci dan tempat-tempat pertapaan. Di sepanjang Tukad Pakerisan juga ditemukan Candi Yeh Mangening, Candi dan Pertapaan Gunung Kawi, Pertapaan Goa Garba, Candi dan Pertapaan Tegallinggah. Demikian pula di sepanjang Tukad Petanu terdapat Candi dan Pertapaan Kelebutan Tatiapi dan Pertapaan Goa Gajah.
Tingginya penghargaan masyarakat Bali terhadap air tercermin dari peninggalan-peninggalan situs kuno yang ada di sepanjang aliran Sungai Tukad Pakerisan maupun Petanu.
Kesadaran terhadap betapa penting makna dan fungsi air bagi kehidupan segenap makhluk itulah yang menjadikan masyarakat Bali agraris sangat memuliakan air. Ritus-ritus pemuliaan sumber-sumber air pun digelar dalam kurun waktu tertentu secara terus-menerus.
Sumber-sumber mata air dikeramatkan agar tidak dirusak. Setiap ritus keagamaan diawali dan diakhiri dengan air suci yang dinamakan tirta. Karena itu, dalam peradaban Bali, air menjadi hal yang sangat esensial, menjadi lambang kesucian sekaligus kesucian itu sendiri.
“Peradaban Bali dalam mengelola sumber daya air berlanjut sejak berabad-abad lalu hingga sekarang. Di Jawa, kearifan lokal dalam mengelola air masih tersisa, tapi di Bali sangat kelihatan sekali,” kata Kepala Tim Peneliti Peradaban Bali dalam Pengelolaan Sumber daya Air, Kamis (20/6/2019), di Jakarta.
Sungai Pakerisan merupakan satu-satunya DAS yang memiliki panjang lebih dari 20 kilometer dan mengandung nilai historis yang penting karena di sepanjang daerah aliran sungai ini terdapat sejumlah candi yang berada di tebing-tebing. Nama Sungai Pakerisan sudah disebutkan dalam prasasti Tengkulak. Salah satu candi yang ada di aliran sungai itu adalah Candi Gunung Kawi yang dibangun Raja Marakata pada abad ke-11.
Menurut Titi, selama ini belum ada penelitian tentang peradaban Bali dalam hal pengelolaan air pada konteks studi keberlanjutannya. Olah karena itu, penelitian ini digelar untuk mengetahui dan mengidentifikasi sejumlah kearifan lokal dalam pengelolaan hidrologi di Bali. Selain itu, penelitian ini juga berupaya mengetahui esensi dan status keberlanjutan peradaban Bali dalam mengelola sumberdaya air.
Penelitian ini digelar untuk mengetahui dan mengidentifikasi sejumlah kearifan lokal dalam pengelolaan hidrologi di Bali.
“Penelitian ini juga bertujuan untuk mengaktualisasikan dan memanfaatkan nilai-nilai luhur yang sudah teruji dapat memproteksi kerusakan lingkungan. Ke depan nilai-nilai luhur ini perlu direvitalisasi agar memberikan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat,” ucapnya.
Tiga titik
Penelitian Peradaban Bali dalam Pengelolaan Sumber daya Air difokuskan pada tiga tempat, yaitu kawasan Subak Jatiluwih, Tabanan, Subak Mengwi, Badung, dan Subak Tampak Siring, Gianyar. Tim peneliti sendiri terdiri dari berbagai disiplin ilmu antara lain arkeologi, antropologi, pertanian, hidrologi, geologi, statistik, etnografi, epigrafi, dan sebagainya.
Kearifan lokal masyarakat Bali dalam memuliakan air sudah diakui dunia dengan keputusan UNESCO menetapkan subak sebagai situs warisan. Sejak 29 Juni 2012 dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di Kota Saint Petersburg, Rusia, Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia.
Kearifan lokal masyarakat Bali dalam memuliakan air sudah diakui dunia dengan keputusan UNESCO menetapkan subak sebagai situs warisan.
Subak yang diakui UNESCO seluas 19.519,9 hektar dengan kawasan penunjangnya mencapai 1.454,8 hektar, meliputi 17 subak di mana 14 di Kabupaten Tabanan dan 3 di Kabupaten Gianyar. Di Bali, secara keseluruhan masih ada 1.599 subak dengan total luas mencapai 70.000 hektar.
Sebelumnya, Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Bali, Prof I Wayan Windia mengatakan, subak hanya bisa dilestarikan apabila petani sejahtera. Karena itu, seperti harapan UNESCO, semestinya kesejahteraan petani subak diperhatikan.
”Insentif yang harus diberikan kepada para petani subak, antara lain bebaskan mereka dari pajak bumi dan bangunan, mereka juga harus dididik berkoperasi dan mengembangkan industri pengolahan kelas rumah tangga, dijamin irigasinya, dan dipastikan agar harga produksi mereka dibeli lebih tinggi di atas harga pasar,” kata Windia.
Peringatan Hari Warisan Dunia 2019 yang jatuh pada 18 April lalu di Bali, salah satu provinsi yang masih mempertahankan lanskap perdesaan berupa sistem pertanian tradisional subak.
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria mengatakan, jejak peninggalan tradisi serta budaya penutur Austronesia juga ditemukan di Bali seperti halnya di daerah-daerah lain Indonesia.”Di Bali, tradisi Austronesia membaur dengan kearifan lokal, antara lain munculnya sistem pengairan subak,” ujarnya.
Di setiap sumber mata air di Bali juga terdapat tempat pemuliaan berupa tinggalan-tinggalan megalitik, seperti takhta batu. Kemunculannya jauh sebelum peradaban Hindu masuk ke Bali. Selain itu, di Bali juga terdapat sistem kalender atau penanggalan tradisional berdasarkan ilmu astronomi yang bukan berasal dari tradisi Hindu.