Kehadiran teknologi digital dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi dan layanan. Sayangnya, pelaku masih terkendala kecukupan permodalan dan ketentuan syariah. Untuk itu, layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi informasi dengan konsep syariah terus dikembangkan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran teknologi digital dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi dan pemasaran. Namun, pelaku usaha masih terkendala kebutuhan modal dan keinginan memenuhi ketentuan hukum syariah. Oleh karena itu, layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi informasi dengan konsep syariah perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan modal.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema ”Membangun Kekuatan UKM dengan Pendampingan dan Pembiayaan Syariah” di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Direktur Eksekutif Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani mengatakan, perkembangan dan kemajuan teknologi digital semestinya dimanfaatkan secara optimal, baik oleh pelaku usaha maupun pelaku jasa keuangan syariah untuk meningkatkan layanan serta pangsa pasar.
”Dengan mengadopsi teknologi finansial, kebutuhan modal pelaku usaha kecil menengah diharapkan terpenuhi. Ke depan, ekonomi berbasis syariah merupakan alternatif penyokong perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akumulasi nilai pinjaman yang disalurkan penyedia layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi informasi sebesar Rp 22,67 triliun per Desember 2018. Akumulasi rekening peminjam 4.359.448 entitas, sedangkan akumulasi rekening pemberi pinjaman 207.506 entitas.
Sebagai lembaga pengawas, OJK memang belum memberikan regulasi pasti terhadap keberadaan perusahaan teknologi keuangan berbasis syariah. Hal ini membuat aturan operasional teknologi finansial (tekfin) konvensional dan syariah masih sama.
Meski demikian, lanjut Triyono, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa agar pelaku tekfin syariah mengikuti aturan tuntunan hukum Islam, terutama terkait riba atau bunga yang tidak sesuai landasan syariah. ”Selain masalah riba, akad dalam tekfin ini juga harus sesuai dengan akad mudharabah dan musyarakah,” ujarnya.
Akad mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dana. Kedua pihak tersebut akan saling bertemu dan menentukan berapa besaran keuntungan yang akan dibagi secara adil. Namun, apabila ada kerugian, pemilik modal harus bertanggung jawab, kecuali keteledoran yang dilakukan oleh pihak pengelola dana.
Sementara akad musyarakah adalah kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mana menggunakan sistem bagi rata. Artinya, pemilik modal dan pengelola dana akan mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan kesepakatan awal. Namun, apabila ada kerugian, kedua pihak juga harus bertanggung jawab dengan beban yang sama.
Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N) Khairul Rashid mengatakan, Nahdlatul Ulama (NU) akan mengembangkan kemitraan dengan perusahaan-perusahaan berbasis digital untuk mengembangkan usaha kecil menengah di kalangan kader NU.
”Ekonomi akar rumput di kalangan nahdliyin kita sama-sama dorong supaya berbasis digital. Dengan kolaborasi ini, NU akan membentuk ekosistem ekonomi sendiri, mulai dari permodalan hingga distribusi,” ujarnya.
Saat ini, NU tengah menjajaki kerja sama dengan salah satu perusahaan tekfin yang berbasis di Amerika Serikat (AS), Fairbanc. Perusahaan ini merupakan platform pinjaman dan pembayaran seluler dengan segmentasi pengusaha mikro di negara berkembang. Namun, kerja sama baru bisa terealisasi setelah izin operasional Fairbanc di Indonesia dikeluarkan OJK.