Pemisahan Tenda Laki-laki dan Perempuan Belum Mendesak
›
Pemisahan Tenda Laki-laki dan ...
Iklan
Pemisahan Tenda Laki-laki dan Perempuan Belum Mendesak
Balai Taman Nasional Gunung Rinjani menilai, pemisahan tenda kemah bagi pendaki berdasarkan jenis kelamin terkait dengan konsep wisata halal belum mendesak. Mereka kini lebih fokus membenahi manajemen dan sarana serta prasarana pendakian yang lama ditutup akibat gempa bumi tahun 2018.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Balai Taman Nasional Gunung Rinjani menilai, pemisahan tenda kemah bagi pendaki berdasarkan jenis kelamin terkait dengan konsep wisata halal belum mendesak. Mereka kini lebih fokus membenahi manajemen dan sarana serta prasarana pendakian yang lama ditutup akibat gempa bumi 2018.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Sudiyono menyampaikan hal itu di Mataram, Kamis (20/6/2019). ”Terkait dengan wisata halal yang sedang digaungkan Pemerintah Provinsi NTB, bisa saja ada pemisahan (tenda) antara laki-laki dan perempuan. Itu memungkinkan untuk dilakukan, tetapi kami belum akan memberlakukan itu secepatnya,” katanya.
Pernyataan Sudiyono itu mengklarifikasi informasi terkait dengan pemberlakuan pemisahan tenda antara pendaki laki-laki dan perempuan yang beredar sejak Kamis. Informasi itu memunculkan pro-kontra di masyarakat.
Menurut Sudiyono, meski pemberlakuan itu tidak terlalu sulit, tetapi banyak hal yang harus dibicarakan dan disepakati terlebih dulu. Mereka juga perlu mendapat kejelasan terkait dengan konsep-konsep wisata halal yang akan diterapkan Pemprov NTB.
”Itu (pemisahan) belum menjadi prioritas kami. Entah kapan. Oleh karena itu, kami memohon dengan hormat kepada semua pihak agar mengakhiri pembicaraan atau perdebatan terkait hal itu. Jika diteruskan, bisa berdampak fatal dan merugikan sektor pariwisata di Indonesia,” kata Sudiyono.
Sudiyono memaparkan, fokus Balai TNGR saat ini adalah pada manajemen dan sarana prasarana pendakian setelah dibuka kembali pada Jumat (14/6). Sebelumnya, empat jalur pendakian Rinjani, yakni dari Sembalun dan Timbanu (Lombok Timur), Senaru (Lombok Utara), dan Aik Berik (Lombok Tengah), ditutup pascagempa Lombok.
Manajemen pendakian yang dimaksud ialah penerapan pendaftaran secara daring atau menggunakan sistem tiket elektronik melalui laman erinjani.id atau aplikasi berbasis Android di Playstore. Melalui sistem yang dilengkapi menu pelaporan masuk dan keluar itu, diberlakukan kuota pendaki harian. Pendaki dari jalur Sembalun dan Senaru dibatasi 150 orang, sedangkan dari Aik Berik dan Timbanu masing-masing 100 orang. Khusus hari Jumat, pendakian dari pintu Sembalun ditutup.
”Dengan tiket elektronik, kami bisa mengendalikan jumlah pendaki. Hal itu penting karena, seperti yang diketahui, wisata ke gunung adalah untuk menikmati kesunyiannya. Selain itu, pengendalian jumlah pendaki juga untuk keamanan jalur. Kalau jalur sempit dan ramai bisa berbahaya. Pertimbangan lainnya adalah untuk pengendalian sampah,” kata Sudiyono.
Pengendalian jumlah pendaki juga untuk keamanan jalur. Kalau jalur sempit dan ramai, itu bisa berbahaya. Pertimbangan lainnya adalah untuk pengendalian sampah.
Sementara untuk sarana dan prasarana, lanjut Sudiyono, akan dilakukan pembenahan rambu-rambu dan jalur secara bertahap. Saat ini, pendakian hanya diperbolehkan sampai areal Pelawangan. Adapun pendakian ke puncak Rinjani dan Danau Segara Anak belum diperbolehkan.
”Terkait sarana prasarana yang dibutuhkan di jalur-jalur pendakian, kami masih inventarisasi. Tujuannya, untuk mengetahui sarana prasarana yang ideal, termasuk jika ada pihak lain yang ingin bekerja sama. Kami terbuka untuk itu asal sesuai aturan,” kata Sudiyono.
Ketua Asosiasi Trek Organizer Desa Senaru (ATOS) Sumatim tidak setuju dengan rencana pemisahan tenda antara pendaki laki-laki dan perempuan. ”Saya rasa itu sudah terlalu jauh. Apalagi itu ranahnya sangat pribadi dan personal,” katanya.
Sumatim menambahkan, banyak pihak yang terkait dengan Rinjani. Oleh karena itu, perlu dibahas secara bersama lewat forum sosialisasi dan diskusi. Menurut dia, kebijakan itu tidak bisa sembarangan diberlakukan, terlebih jika diambil secara sepihak. Dia menyarankan supaya dipertimbangkan dampak positif dan negatifnya terlebih dulu.
Jika dipaksakan, Sumatim khawatir sektor pariwisata di Rinjani justru akan kembali lesu. ”Sekarang, kan, baru dibuka setelah ditutup akibat gempa. Kalau aturan itu dijalankan, banyak yang akan dirugikan, terutama masyarakat yang menggantungkan hidup di sana. Rinjani perannya sangat penting,” ucapnya.
Kebijakan itu tidak bisa sembarangan diberlakukan, terlebih jika diambil secara sepihak. Dia menyarankan supaya dipertimbangkan dampak positif dan negatifnya terlebih dulu.
Gunung Rinjani hingga kini masih menjadi magnet para pendaki domestik dan mancanegara. Data Balai TNGR, pada 2017, pendaki Rinjani mencapai 80.000 orang. Pada 2018, jumlah tersebut turun separuhnya akibat gempa pada Juni.
Sumatim mengatakan, alih-alih memaksakan pemberlakuan aturan itu, ia meminta semua pihak untuk fokus mempromosikan pendakian Rinjani yang baru dibuka. ”Kita harus fokus bagaimana orang mau ke Rinjani lagi. Kalau bisa secara besar-besaran. Kami juga mulai bergerak, mempromosikan Rinjani yang sudah dibuka kembali dan aman untuk didaki,” tuturnya.
Sementara itu, Lalu Ahmad Yani, Ketua Forum Citra Wisata Alam Rinjani, yang membawahkan sejumlah asosiasi trek di Rinjani mengatakan, pihaknya sepakat dengan kebijakan Balai TNGR dalam menyikapi rencana pemisahan tempat tenda berkemah laki-laki dan perempuan. Dia mengajak semua pihak mengakhiri perdebatan terkait dengan rencana itu.