Di Depok Orangtua Keluhkan PPDB Sistem Zonasi Terlalu Ribet
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah orangtua calon siswa SMA Negeri 1 Depok, Jawa Barat, mengeluhkan penerimaan peserta didik baru atau PPDB yang dinilai terlalu ribet dan melelahkan. Banyak orangtua calon siswa baru bisa menyelesaikan input dan verifikasi data selama empat hari.
Ayu Lilipaly (45) dan anaknya, Gina Nada Lilipaly (16), warga Perumnas Depok Satu, untuk keempat kalinya datang ke SMA Negeri 1 Depok untuk menginput dan memverifikasi data PPDB. Ayu menilai sistem zonasi tidak cocok diterapkan di Depok.
”Apakah harus empat hari mengurus pendaftaran PPDB? Ini terlalu lama dan melelahkan. Ini bukti jika sistem zonasi tidak sesuai untuk sekolah di Depok. Sekolah tidak siap,” seru Ayu, Kamis (20/6/2019).
Ayu mengatakan, ia bersama anaknya sudah datang pada hari pertama pembukaan PPDB, Senin (16/6/2019) pukul 06.00, untuk mendaftar. Setiba di sekolah, pendaftar lainnya sudah mengantre panjang di depan gerbang sekolah. Hingga pukul 10.00, Ayu tidak mendapatkan nomor formulir antrean karena pihak sekolah membatasi kuota pada hari pertama.
Ayu yang tidak mendapat nomor antrean terpaksa kembali ke rumah. Pada hari kedua, ia bersama putrinya datang kembali ke sekolah untuk mengantre nomor formulir antrean.
”Saya dapat nomor 691. Hari kedua itu sempat menunggu, tetapi ternyata tidak bisa langsung input dan verifikasi data karena nomor antrean sebelumnya belum kelar. Akhirnya pulang lagi dan lanjut hari Rabu. Namun, setelah datang pagi hingga 15.30 saya belum juga bisa menginput data. Akhirnya baru hari ini kelar,” lanjutnya dengan nada kesal.
Setelah selesai menginput data, tak ada rona lega di wajah Ayu. Ia masih cukup gelisah dan khawatir jika anaknya tidak diterima karena jumlah peserta didik yang mendaftar sangat banyak di SMAN 1 Depok.
Kekhawatirannya semakin besar karena ia takut ada oknum sekolah atau peserta didik yang bermain curang. ”Banyak peserta didik yang mendaftar jauh dari zonasi sekolah. Hal ini juga yang menyebabkan membeludak pendaftar,” kata Ayu yang rumahnya sekitar 600 meter dari sekolah.
Kecurigaan Ayu berdasarkan pengamatan saat mengantre untuk memverifikasi data pada hari ketiga. Ayu yang memegang nomor antrean 691 tersebut kaget ketika beberapa orang yang memegang nomor antrean di atas 700 justru ada di depannya. Sontak saja ayu memprotes kepada orang tersebut karena ia sudah sedari pagi mengantre. Namun, orang tersebut bergeming dengan alasan sudah melakukan proses pendaftaran sesuai prosedur.
”Seolah-olah pendidikan kita kayak main-main saja. Kenapa tidak pernah belajar dari penyelenggaraan tahun lalu. Jika tujuan PPDB dengan sistem zonasi baik untuk pemerataan kualitas, kenapa jadi harus ribet dan susah seperti ini,” kata Ayu.
Pengalaman serupa juga dirasakan Yuni Sufiyanti (50). Warga Perumnas Depok Satu ini juga harus mengurus pendaftaran putrinya, Sabrina Marva Febriyanti (15), selama empat hari.
Menurut dia, sekolah tidak siap dengan sistem zonasi. Pemerintah yang membuat regulasi juga turut andil karena mereka tidak memetakan masalah yang akan terjadi.
”Mungkin daerah lain berhasil atau cocok dengan sistem zonasi. Namun, apa yang terjadi di Depok adalah kegagalan dengan menggunakan sistem zonasi. Ini terlalu dipaksakan. Satu sekolah diserbu banyak pendaftar. Sebab, selain sekolah dianggap favorit, tidak ada lagi sekolah selain SMAN 1 Depok sesuai zonasi di daerah sini. Sementara sekolah lainnya jauh,” kata Yuni.
Ketidaksiapan lainnya, kata Yuli, server dua kali error sehingga pendaftar harus menunggu lama.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jakarta Raya Teguh P Nugroho mengatakan, Ombudsman memantau dan menerima laporan dari masyarakat terkait kasus berulang yang muncul di dalam PPDB. Masalah berulang yang selalu terjadi setiap tahun, menurut Teguh, di antaranya server sistem komputer PPDB yang down akibat ketidakmampuan penyelenggara PPDB di Jawa Barat dalam mengantisipasi lonjakan pendaftaran.
”Hari pertama pelaksanaan PPDB di Jabar harus kami katakan kacau dan meresahkan para orang tua calon peserta didik. Server down sudah kejadian berulang sejak tahun lalu,” ujarnya.
Teguh mengatakan, pihaknya sudah peringatkan Dinas Pendidikan Jawa Barat melalui Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan PPDB tahun 2018 agar beralih ke provider yang lebih kompeten dan kapasitas server yang lebih besar. Namun, ternyata mereka masih memakai provider yang sama yang memang tidak kompeten dalam PPDB tahun 2018,” kata Teguh.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 1 Depok Supyana mengatakan, peserta didik yang mendaftar dalam PPDB sudah lebih dari 2.000 orang. Sementara kuota kursi yang tersedia 318 kursi. Banyaknya pendaftaran yang datang sejak hari pertama membuat pihak sekolah membatasi kuota antrean. Estimasi per hari maksimal 300 pendaftar. Entri data disesuaikan dengan kemampuan dan sumber daya petugas.
Ia melanjutkan, membeludaknya pendaftaran PPDB 2019 juga tidak lepas dari perubahan kuota zonasi. Pada 2018, kuota yang tersedia dengan sistem zonasi hanya 10 persen dan menggunakan radius 300 meter dari sekolah. Pada 2019, kuota mencapai 90 persen dengan menggunakan titik koordinat.
Berdasarkan titik koordinat tersebut, kata Supyana, siswa akan diseleksi berdasarkan jarak yang paling dekat dari rumah ke sekolah. ”Ada tiga jenis zonasi. Zonasi murni berdasarkan jarak 55 persen, zonasi untuk siswa tidak mampu dan tinggal di dekat sekolah sebanyak 20 persen, serta 15 persen untuk zonasi kombinasi (berdasarkan nilai ujian nasional dan jarak rumah ke sekolah). Sebanyak 10 persen sisanya untuk siswa di luar zonasi,” katanya.