Puisi-puisi di Karangan Bunga
Kompas/Didie SW
Malam tadi ada gadis timur yang menelusuri setapak dan menanyakan beberapa pertanyaan sepanjang perjalanannya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Bunga, karena dia lahir dari rahim kembang desa. Tanpa ayah, tanpa perayaan. Kepadaku dia bercerita, ada pria yang menuntutnya tahu segala cerita tentang Yogyakarta sebelum menikah. Lalu dia melipir ke tempatku, menumpaskan kegalauannya saat pedagang-pedagang mulai berkemas hendak pulang, membayar utang tidur.
Kukatakan padanya, ”Namaku Malioboro, artinya karangan bunga. Tapi, beberapa sejarawan percaya namaku diadaptasi dari nama seorang kolonialis Inggris, Marlborough, di tahun 1811-1816.”
”Mana yang harus kukatakan pada calon suamiku?” Bunga bertanya.
Orang-orang yang melihatnya terpaku heran. Apa yang gadis itu lakukan di jam-jam rawan ini dengan berjalan tanpa teman dan berbicara seorang diri. Yogyakarta sedang tidak aman akhir-akhir ini. Banyak begal, pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, dan banyak lagi. Slogan yang dulu begitu memikat para pendatang, sekarang berubah menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang hendak mampir ke kota istimewa ini. Masihkah aman? Masihkah nyaman?
”Ah, tenang saja, Yogyakarta tidak akan berubah selama masih ada Malioboro di dalamnya.” Seorang pemuda dengan rambut cepak pernah berujar demikian kepada salah satu teman perempuannya yang merengek minta pulang jam satu malam.
”Nama tidak begitu penting, Bunga. Kau bisa menemukan lebih banyak referensi di internet tentang asal-usul namaku. Yang penting adalah kau tahu sudah berapa ratus peristiwa yang kualami, kusaksikan, dan kubawa hingga kini.”
Bunga berhenti sebentar di salah satu pedagang rokok, membeli tiga batang rokok, dan menyalakan satu sebelum melanjutkan langkah.
”Ibu tadi seperti Paini,” ujar Bunga, sembari menghembuskan asap ke pohon-pohon trembesi di sepanjang jalan.
”Kangmas-kangmas, bawakan aku bulan. Akan kurebus untuk sarapan adik-adikku,” kubacakan sajak yang ditulis Ahmadun ketika sedang merokok di emperan stasiun Yogyakarta tiga puluh tiga tahun lalu.
”Kau kenal Paini, Bunga?”
”Calon suamiku adalah aktivis sosial, banyak berinteraksi dengan orang-orang miskin, salah satunya orang cacat. Aku kenal Paini darinya, oleh awak media, Paini dipanggil ibu bagi penyandang cacat.”
”Ah, bukan Paini itu yang kumaksud.”
Bunga tertawa kecil. Para pedagang yang bergegas pulang, menatapnya miris. Pikir mereka, Malioboro memang penuh kejutan. Sebentar-sebentar ada yang menangis di pertigaan jalan menuju pasar kembang. Sebentar-sebentar ada yang tertawa bahagia di bawah papan reklame.
Buat apa menceritakan penggalan kenangan puluhan tahun yang lalu pada para pendatang. Buat apa memutarkan film-film sejarah kepada generasi yang mulai lupa diri. Sajikan saja potret kemarin sore, tentang apa saja, biar mereka yang menulis sejarah mereka sendiri, untuk diri mereka pula esok hari.
”Aku lapar, Boro,” ujar Bunga setelah satu batang rokok sudah habis dihisap.
”Maju terus, di ujung jalan, dekat rel kereta api ada seninjong.” Bunga menurut.
”Kau mau apa saja ada di sana.”
”Aku tahu satu puisi tentang seninjong.”
Kuteruskan kalimatnya. ”Yang rindu sampai mati tak kembali, yang retak di jauh terserak, alangkah daun menemu suara alun, serba lembut salam dan tegur bulan.”
Bunga menyalakan satu batang rokok lagi. ”Pernahkah ada pelacur yang lewat sini, Boro?” dia bertanya saat menyeberangi jalan yang menuju pasar kembang.
Aku tertawa. Dedaunan menari menyambutnya.
”Setiap saat, Bunga. Di sini serba rahasia tapi membuka. Sesekali mereka berbaur bersama para pembeli di toko-toko baju. Tertawa seperti muda-mudi yang pacaran di trotoar, lesehan sambil meneguk es teh yang kurang gula. Atau menyewa becak untuk berkeliling, sekadar menghilangkan penat. Kau mungkin pernah bertemu mereka dalam perjalananmu di Malioboro, tapi kau tak sadar kalau mereka pelacur.”
”Aku adalah pelacur, Boro. Kau pelacur. Semua orang pelacur.”
Tawaku kembali pecah. Beberapa daun gugur dari ranting. Sampah-sampah terbang meninggalkan tong. Para pengangguran makin menarik selimut tipis, menutupi tubuh mereka yang kurus kering. Memang benar, walaupun Yogyakarta tak senyaman dulu, selagi masih ada Malioboro, semua akan tenang dan baik-baik saja.
”Mereka tak punya pilihan lain, Bunga. Sama sepertiku.”
Bunga berhenti, lalu duduk di trotoar dekat palang jalan.
”Kenapa begitu, Boro?”
Kuceritakan padanya tentang arak-arakan Van Idenburg ketika tiba di Yogyakarta tanggal 28 Mei 1947. Ingin sekali aku bangkit dan memorak-porandakan rombongannya, atau setidaknya melipir agar tidak dilewati musuh keparat itu. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Malioboro tetaplah di sana, di dekat gedung kantor Pos dan gedung bank. Aku tidak bisa berpindah sejengkal pun.
Atau ketika Sultan Hamengku Buwono IX berangkat ke Jakarta pada tanggal 21 Juni 1947, untuk lama yang tak kuketahui. Ingin aku ikut mengantarnya hingga ke landasan pacu. Mendoakannya bersama para pengawal keraton, lalu kembali ke tempatku semula. Tapi, lagi-lagi aku bisa apa. Yang bisa kulakukan hanya tenang ketika rombongan sultan lewat di atasku. Berusaha menjaga harum bunga di sepanjang jalan agar tidak cepat hilang, bertahan beberapa detik di udara. Sampai Sultan hilang di belokan jalan.
”Mereka tidak punya pilihan tapi punya kehendak, bukan?” ujar Bunga.
Aku tertawa pelan. Desir angin membelai rambut seorang pelacur yang baru saja melayani pelanggan kesepuluh. Pelacur itu membeli air mineral dingin, meneguknya di trotoar, sekitar seratus meter dari Bunga. Aku tahu dia sedang menangis, karena air matanya terbawa angin. Orang-orang di sekelilingnya terlalu sibuk menghalau dinginnya malam hingga tak sadar bahwa mereka bisa belajar dari pelacur itu, karena pelacur itu sudah kebal dengan dingin.
”Seperti puisi Ari Basuki,” kataku memecah malam. Tukang becak kaget dari tidurnya, celingak-celinguk mencari sumber suara, lalu terlelap kembali. ”Aku ingin meninggalkan lembah ini, setelah peperangan yang meletihkan. Tapi kulihat kau masih suka singgah, begitu asyik bermain-main dengan tubuh berlumur darah. Tidakkah kau jemu, bertualang dari sepi ke sepi, dari ngilu ke ngilu? Bayang-bayang yang kau buru senantiasa luput, dan kau tertipu.”
”Kau ingin bilang itu pada Sultan, Boro?”
”Oh, Bunga, aku harap Ari Basuki sudah lahir dan mahir merangkai puisi tujuh puluh satu tahun lalu. Agar bisa kubacakan syairnya kepada Sultan. Ketika Sultan ditipu oleh sahabatnya sendiri, Sultan Hamid II, lalu ketika pergolakan internal yang terjadi di tahun kedua Sultan menjabat menteri pertahanan 1952, bukankah syair Basuki itu sangat pas dengan keadaan Sultan?”
”Calon suamiku pernah menceritakan peristiwa 1952 itu. Pergolakan antara Sultan dan A.H. Nasution dengan Soekarno. Tapi kau tahu, Boro, aku tidak terlalu suka dengan penggalan-penggalan sejarah yang keluar dari mulut yang berbeda.”
”Mengapa?”
”Karena sejarah itu selalu subyektif, tergantung pada pihak mana sang pencerita atau penulis menempatkan diri.”
Desahanku membuat rambut kuduk para pengangguran berdiri. Tangan mereka mencari-cari selimut tanpa sadar, mengira angin sudah membawanya terbang. ”Bunga, kau harusnya membaca puisi Artha yang berjudul Matahari Tak Lagi.”
Bunga bangkit dari duduknya dan berjalan menjauhi rel kereta api, menuju jalan Malioboro. Pelacur yang kebal dingin tak lagi terlihat, orang-orang di sekitar barak sudah mendengkur keras. Aku mengikuti langkah Bunga sambil membacakan puisi.
”Kenapa mesti curiga ketika matahari tak tampak di balik cakrawala. Kenapa mesti berdusta ketika burung tak lagi bercericit di dekat jendela. Kau tak perlu mencari tahu kebenaran sejarah, cukup dengarkan saja, terserah mau dari mulut mana. Karena selepas mendengarkan, kau hanya perlu meneruskan ke telinga calon suamimu. Biarkan ia yang menentukan, apakah sejarah yang kau utarakan benar-benar informasi yang ia butuhkan.”
Setelah menyalakan batang rokok terakhir, Bunga tertawa. ”Aku sampai lupa tujuanku kemari, Boro. Aku bahkan lupa kalau sebentar lagi aku milik Yogyakarta, bukan hanya milik Ambon.”
”Aku hanya mencoba menceritakan apa yang pernah terjadi di sepanjang jalan ini lewat puisi-puisi di karangan bunga. Aku tak tahu apakah cerita yang kubagikan memang benar-benar sejarah, atau hanya hiperbola para penyair.”
Asap rokok Bunga mengudara lalu hilang pelan-pelan di dekat lampu jalan. Dengkur pengangguran dan tukang becak bersahut-sahutan satu irama. Bunga berjalan pelan, seperti mengeja langkah agar tak salah jalan. Di jalan ini, dua puluh empat tahun silam, seorang penyair meminta pelukis jalanan melukis wajahnya.
Dilukisnya wajahku seharga lima ribu. Lima menit pun jadi. Aku tatap wajahku agak mirip. Ini Malioboro, Bung. Semua harus bergegas. Melukis harus cepat. Ngamen cukup separuh lagi. Nyemir sepatu pun jadi ragu-ragu. Semua terus berlomba. Dan jika hotel terus menjulang. Supermarket terus bermunculan. Ini tidak salah, Bung. Malioboro butuh berdandan. Bukan tempat tidur gelandangan.
”Bunga, sepertinya waktu bergerak lambat,” aku mencoba mengejar jarak di antara kami.
Bunga menoleh dan menghembuskan asap rokok lagi. “Memang begini seharusnya, Boro. Tidak perlu terburu-buru. Matahari tidak akan merangkak lebih cepat, dan tenggelam lebih awal. Manusia terlalu tergesa-gesa dalam segala hal.”
”Kalau begitu bilang pada calon suamimu agar tidak perlu buru-buru menikah!”
”Oh, aku pernah mengatakan itu padanya bertahun-tahun lalu. Kurasa sekarang tak akan mempan lagi.”
”Coba lagi, Bunga. Jangan putus asa! Jangan menyerah. Siapa tahu kali ini berhasil.”
Sungguh aku tidak tahu mengapa aku begitu bersemangat meminta Bunga untuk menunda pernikahannya, yang aku sendiri pun tak tahu kapan akan dilangsungkan. Tapi ketika mengingat permintaan calon suaminya agar mengetahui seluruh cerita tentang Yogyakarta sebelum menikah membuatku pesimis Bunga tidak akan bisa memenuhi keinginan calon suaminya dalam waktu dekat ini, apalagi hanya satu malam.
Bunga hanya tertawa mendengar perkataanku. ”Aku mencintainya, Boro. Aku mencoba menghormati keputusan suamiku, seandainya dari dulu begitu. Tidak menunda-nunda ajakannya.”
Aku berhenti bernapas. Angin hilang dari permukaan jalan. Orang-oang yang tidur tiba-tiba terbangun, megap-megap. Bunga berbalik dan menatapku marah. Aku bernapas lagi, satu hembusan kuat. Desah lega terdengar samar-samar di belakang kami. Kemudian disusul dengkuran dan grasak-grusuk selimut.
”Kau hanya sebatas ini, Boro.” Bunga berhenti di depan toko Terang Bulan. ”Kau mau melanjutkan atau berhenti di sini?”
Dia benar. Panjangku hanya terbentang dari stasiun tugu ke depan toko ini. Setelah itu bukan Malioboro lagi namanya, tapi Margomulyo hingga ke titik nol. Dari titik nol ke keraton adalah Pangurakan. Aku bisa saja menemani Bunga hingga ia memutuskan untuk meninggalkan.
”Melanjutkan, bila kau mau.”
”Benar yang dikatakan Dhenok Kristianti dalam puisinya yang berjudul Malioboro,” ujar Bunga sambil memelankan langkah, maju menjauhi toko Terang Bulan.
”Malioboro simpan derita, perkampungan yang menempel di baliknya. Malioboro simpan rahasia, kata hati yang terucap lewat mata. Apa yang kau sembunyikan, Boro?”
Aku berhenti di depan toko Terang Bulan. Bunga terus melangkah, aku memandangi punggungnya yang layu, rambutnya yang lepek, lalu teringat Bawono. Pria yang berulang kali mengajak Bunga menikah. Bawono meninggal ketika sedang mementaskan drama Serangan Oemom 1 Maret empat tahun lalu.
”Kenapa berhenti, Boro? Sebentar lagi kita tiba.”
Tiba yang dimaksud Bunga adalah tiba di lokasi kematian Bawono. Aku ada di sana, bersama Margomulyo, menyaksikan orang-orang ketar-ketir membopong jasad Bawono ke rumah sakit terdekat. Tapi sepanjang kondisi genting itu, aku tak melihat sosok Bunga. Bahkan hingga tahun-tahun berlalu, kematian Bawono hilang begitu saja.
Aku tak sanggup melangkah lagi. Napasku sesak, melihat wajah Bunga aku seperti menatap bola mata Bawono yang hitam pekat, atau setidaknya begitu yang kuingat. Bunga masih terus melangkah. Ke arah Bawono mati terkapar, di depan Benteng Vrederburg.
Lalu aku teringat puisi ”Sajak yang Membiru”. Dengan sisa napas yang ada, kubacakan puisi itu pelan-pelan. Mengiringi langkah Bunga yang tak tahu berhenti.
”Aku ingin menikam hatimu dari belakang agar tak kau lihat air matamu, jatuh menggenangi bumiku. Seperti waktu lalu engkau menghabisiku tepat depan rumahmu. Begitulah, segelas impian telah kureguk malam itu. Seraya kuacung-acungkan pisau kata-kataku dengan amarah membiru. Lalu, kuhempaskan namamu di jalanan penuh debu. Sambil berseru: Hidup hatiku! Hidup hatiku!”
”Aku pulang, Boro. Simpan cerita kelam itu di sepanjang tubuhmu. Seperti Bawono, aku sudah ikhlas, dan tenang.”
Semakin jauh, kudengar Bunga mulai berteriak lantang membacakan puisi.
”Kembali jalanku pada dinding Yogya. Kota penuh kesabaran, kotaku di balik sisi luka, sulit terobati. Kembali malam kembali saban malam. Dicampur otak Nyai Kidul, Otak Gajah, otak Code, dan otaknya sendiri yang penuh luka. Kembali dia tegar hanya karena dia matang dan dewasa. Hanya karena dia sering terluka.”
Lambat laun aku ikut mendengkur bersama pengangguran, gelandangan, tukang becak, seninjong, pelacur, dan siapa pun yang berlindung di Malioboro dari ketidakamanan dan ketidaknyaman Yogyakarta.
____________________________
Wika G Wulandari, lahir di Tidore, 2 Desember 1996, dan tinggal di Yogyakarta. Sedang menempuh pendidikan Ilmu Biologi di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.