Cinta adalah Masa Depan, Bukan Kenangan
Judul : Dilarang Bercanda dengan Kenangan
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta
Cetakan : I, November 2018
Tebal : iv + 468 halaman
ISBN : 978-602-5734-45-8
Dilarang Bercanda dengan Kenangan adalah novel yang berkisah tentang perjalanan cinta seorang tokoh bernama Johansyah Ibrahim (Jo). Kisah cintanya dimulai di Inggris (London) tahun 1997, dengan latar peristiwa upacara pemakaman Diana Spencer (Lady Di).
Jo yang saat itu sedang mengikuti studi singkat (tiga bulan) di University of Leeds, atas tugas dari perusahaan tempatnya bekerja, bertemu dengan Khaleeda Jderescu (Aida), seorang perempuan jurnalis berkebangsaan Romania. Pertemuan dan obrolan pertama ini menyebabkan Aida jatuh hati dan mencintai Jo.
Jo sendiri, meskipun tertarik pada Aida, hatinya lebih tertambat kepada Tiara, saudara sepupunya yang sudah sangat dekat sejak kanak-kanak. Saat itu, Tiara sebenarnya tengah studi di Liverpool, tetapi ia tidak bisa menyaksikan pemakaman Diana sebab kesibukan studinya. Orangtua Tiara yang diplomat juga tinggal di London. Hanya, saat itu, mereka sedang berada di Indonesia.
Hubungan Jo dengan Tiara cukup unik. Mereka saling mencintai, tetapi keduanya tidak pernah mengungkapkan isi hatinya itu. Hanya karena suasana dan ide seorang teman kuliahnya yang juga menyusul ke London, akhirnya Jo menyatakan cinta kepada Tiara melalui telepon. Tiara segera menemui Jo di London. Dan mereka pun resmi menjadi sepasang kekasih. Mengetahui hal ini, kedua orangtua masing-masing sangat bergembira karena mereka juga sudah lama mengharapkan hal itu. Tidak membuang kesempatan, mereka menikahkan Jo dan Tiara di Inggris.
Namun, usia pernikahan mereka ternyata tidak lama, hanya empat tahun. Tiara divonis mengidap penyakit yang memungkinkan dirinya tidak akan memiliki keturunan. Hal ini menyebabkan ia terus-menerus merasa bersalah. Di samping itu, jarak yang jauh (karena Jo harus pulang ke Indonesia setelah studinya selesai) dan kesibukan masing-masing menyebabkan hubungan mereka kian renggang. Pada 2002, mereka resmi bercerai.
Bagaimana dengan Aida? Jurnalis The Jourdan Times itu selalu hadir di dalam lubuk hati Jo. Sebaliknya, Aida pun masih tetap merindukan Jo. Tetapi, keduanya tidak pernah bertemu meskipun peluang untuk itu sangat terbuka. Baru pada akhir kisah mereka bertemu di Aceh pascaperistiwa tsunami 2006. Jo ditugaskan kantornya untuk mengelola bantuan kemanusiaan, sedangkan Aida dalam kapasitasnya sebagai sukarelawan. Tumbuh harapan besar pada keduanya untuk melanjutkan kisah cintanya di masa lalu. Segala kenangan cinta mereka di London sekonyong-konyong hadir kembali. Namun, ”dilarang bercanda dengan kenangan”, Aida telanjur telah bertunangan dengan seorang pria Meulaboh.
Kisah dalam novel ini mengalir pada alur sangat ketat. Waktu ceritanya memang tidak lama, yakni berlangsung lebih kurang sembilan tahun. Tetapi, banyaknya peristiwa dan konflik yang rumit menyebabkan rangkaian narasi menjadi sangat padat. Waktu penceritaan dalam 468 halaman masih tetap menyebabkan tempo kisahan seperti berlari. Seluruh cerita berlangsung dalam fungsi utama. Nyaris tidak ada katalisator. Semua bergerak maju dalam alur linear.
Namun, justru di situlah letak kekuatan novel ini. Pengarangnya memiliki kekuatan meramu berbagai peristiwa tanpa kehilangan fokus. Meskipun alurnya sangat ketat, tokoh-tokohnya ditampilkan secara bulat. Jo, sebagai tokoh utama, nyaris tampil dengan karakter ”natural” layaknya manusia biasa—bukan melulu rekaan. Sebagai protagonis, Jo tidak hanya hadir dengan sisi baik, tetapi juga kelemahan dan keburukannya.
Demikian juga tokoh lain. Aida dan Tiara, dua sentral setelah Jo, juga ditampilkan ”apa adanya”. Aida yang cantik, cerdas, rasional, bahkan religius tetap memiliki sisi emosional yang acap lepas kontrol sebagai pencinta. Pun demikian Tiara. Gadis Jawa yang matang dan terpelajar ini juga tidak bisa lepas dari ”egoisme” untuk memilih studi daripada mempertahankan cinta dan keluarganya.
Di sisi lain, dua peristiwa besar yang melatari ”perjalanan cinta dan keluarga” Jo tersebut, yakni upacara pemakaman Diana di Inggris dan krisis ekonomi di Indonesia, juga dinarasikan secara proporsional. Dalam beberapa hal memang terasa sebagai laporan jurnalistik, tetapi pada bagian tertentu menunjukkan kedalaman. Pada peristiwa upacara Diana, misalnya, pengarangnya mengedepankan sebuah peristiwa di pemakaman Dodi al-Fayed—pasangan Diana yang sama-sama meninggal dalam kecelakaan fenomenal itu.
Pilihan untuk mengisahkan sedikit peristiwa di pemakaman Dodi tersebut mampu menajamkan peristiwa dan suasana di tepi lain, yakni ”euforia” pemakaman Diana yang paradoks. Di situ, penghadiran peristiwa kecil secara in praesentia (hadir dalam teks) membesarkan asosiasi peristiwa lain yang in absentia (di luar teks). Penghadiran oposisi biner ini mengeksplisitkan sisi kontradiktif dalam narasi peristiwa besar yang melatari kisah keseluruhan.
Dilarang Bercanda dengan Kenangan (DBDK), dengan semua kompleksitas narasi yang dirangkainya sedemikian, menjadi novel yang menarik. Ini novel populer dengan tema cinta yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, bagaimana tokoh dikarakterisasi dan berbagai peristiwa diramu serta ketegangan dipertahankan menyebabkan ia memiliki kualitas yang jauh dari sekadar novel populer.
Saya ingin menempatkan novel ini pada posisi di antara novel-novel ”sastra” yang njelimet (rumit) dengan novel populer yang secara umum dipahami masyarakat. Ibarat film, DBDK adalah film populer yang diadoni dengan teknologi canggih di Hollywood. Dan secara keseluruhan ia memang filmis. Seperti James Bond yang kesepian di akhir cerita, pembaca juga dibawa masuk ke dalam ”kesunyian” Jo di akhir kisah.
Dalam logika novel populer yang umum, Jo sejatinya berbahagia karena bertemu lagi dengan Aida. Tetapi tidak demikian. Pembaca ditahan untuk tidak segera masuk ke dalam suasana tersebut. Aida sudah bertunangan dan akan menikah dua pekan lagi. Apakah Aida betul-betul akan menikah? Novel ini keburu ditutup, seperti digantungkan untuk serial berikutnya.
Tetapi, dalam ketanggungan suasana sedemikian, semacam pesan moral sedang dikirim: keindahan dan kesempatan di masa lalu tidak serta-merta bisa diraih kembali, waktu tidak bisa diputar, sejarah kejayaan hanyalah sebuah pelajaran.
DBDK, pada titik itu, bisa dibaca sebagai sebuah pesan bahwa manusia tidak pernah bisa kembali ke masa lalu. Cinta adalah masa depan, bukan kenangan. Demikian judul resensi ini saya kutip dari sebuah sajak dari buku antologi puisi Tuhan, Kamu, dan Cinta (Saidi, 2012).
ACEP IWAN SAIDI Pembelajar Semiotika; Dosen Sekolah Pascasarjana
Seni Rupa dan Desain ITB