JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah mewaspadai dampak pertumbuhan penerimaan perpajakan yang terus melemah sejak awal tahun. Hal itu dapat menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melebar kendati masih dalam target 1,84 persen produk domestik bruto.
Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan perpajakan per Mei 2019 ialah Rp 569,3 triliun atau 31,9 persen dari pagu APBN 2019. Penerimaan perpajakan pada Mei 2019 tumbuh 5,7 persen dibandingkan Mei 2018. Padahal, pada Mei 2018, penerimaan perpajakan tumbuh 14,5 persen ketimbang Mei 2017.
Sementara itu, defisit APBN per Mei 2019 sebesar Rp 127,5 triliun atau 0,79 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Realisasi defisit Mei 2019 itu lebih tinggi daripada Mei 2018 yang sebesar Rp 93,5 triliun atau 0,63 persen PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit APBN 2019 berpotensi melebar dari 2018 karena pertumbuhan penerimaan melemah, sementara realisasi belanja tetap. ”Sampai kini kami menganggap defisit masih sangat mungkin kita upayakan sesuai target APBN 2019, yakni 1,84 persen PDB,” ujarnya dalam konferensi pers kinerja APBN per Mei 2019, Jumat (21/6/2019), di Jakarta.
Menurut dia, pelemahan pertumbuhan penerimaan perpajakan terjadi hampir di semua sektor industri. Kondisi ini mengonfirmasi kehati-hatian pemerintah.
Pelemahan penerimaan itu tecermin pada realisasi pendapatan pajak Rp 496,6 triliun, bea masuk Rp 15 triliun, bea keluar Rp 1,5 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak Rp 158,4 triliun. Realisasi pendapatan pajak tercatat tumbuh paling rendah, yaitu 2,4 persen pada Mei 2019. Padahal, pada Mei 2018, realisasinya tumbuh 14,2 persen.
Sri Mulyani menyatakan, penerimaan pajak terlemah berasal dari industri pengolahan. Realisasi penerimaan pajak itu pada Mei 2019 ialah Rp 132,35 triliun, turun 2,7 persen dibandingkan Mei 2018. Penurunan produktivitas industri pengolahan terkonfirmasi dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) impor yang hanya tumbuh 0,6 persen pada Mei 2019.
”PPh impor periode itu turun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang tumbuh 30,5 persen. Kondisi ini harus diwaspadai karena sebagian impor adalah bahan baku dan barang modal,” kata Sri Mulyani.
Kendati demikian, lanjut Sri Mulyani, kondisi perekonomian per Mei 2019 agak berbeda. Meski penerimaan pajak dari industri melemah, pajak orang pribadi tumbuh di atas 20 persen. Hal ini menunjukkan lapangan kerja tersedia dan daya beli masyarakat tercipta.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, pelemahan penerimaan pajak dari industri pengolahan tak terlepas dari harga komoditas yang turun. Maka, realisasi hilirisasi usaha sangat penting untuk melepas ketergantungan terhadap komoditas mentah.
”Pemerintah juga berpotensi membidik sumber penerimaan lain, misalnya Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri, tindak lanjut pengampunan pajak, dan optimalisasi pertukaran data keuangan,” ujarnya.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu meminta pemerintah menjaga defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB. Dengan demikian, peringkat utang Indonesia cepat naik sehingga imbal hasil surat berharga pemerintah semakin rendah. Belanja bunga utang sekitar Rp 200 triliun setiap tahun akan berkurang sehingga tak terlalu membebani APBN. (KRN)