Tahun 2019 diwarnai pelemahan nilai ekspor udang Indonesia. Hal ini berdampak pada penurunan nilai ekspor perikanan. Sebab, komoditas udang memiliki kontribusi terbesar dalam ekspor perikanan.
Kemunculan India dan Ekuador yang mendobrak produksi udang dunia dengan kualitas baik sebenarnya sudah dirasakan sejak 2018. Suplai udang yang tinggi dari India dan Ekuador dengan harga yang lebih murah telah memengaruhi harga udang di perdagangan global.
Pembukaan tambak udang yang berlangsung masif di India membuat suplai dari negara itu membanjiri pasar ekspor. Harga jual yang lebih murah 0,5 dollar AS-1 dollar AS per kilogram (kg) dibandingkan dengan udang asal Indonesia telah mendominasi pasokan ke Amerika Serikat. Demikian pula udang asal Ekuador, yang mendominasi ekspor udang ke Uni Eropa, harganya lebih rendah 0,5 dollar AS per kg jika dibandingkan dengan Indonesia.
Tekanan harga udang di pasar global juga berdampak terhadap petambak nasional yang didominasi usaha skala kecil. Harga jual udang di petambak turun hingga 15 persen pada saat petambak sedang dalam semangat berproduksi.
Di sisi lain, pemerintah telah menargetkan peningkatan nilai ekspor udang 1 miliar dollar AS pada 2018-2021, yakni dari 1,7 miliar dollar AS menjadi 2,7 miliar dollar AS. Demi mengejar target itu, perlu setidaknya tambahan produksi 150.000 ton.
Momentum mendongkrak ekspor udang perlu tetap dijaga dengan langkah strategis pembenahan aspek hulu-hilir. Di sisi hulu, pasokan benur atau benih udang yang bebas penyakit dan berkualitas perlu terus dipacu untuk mengantisipasi penyakit udang yang menghambat produksi.
Penyakit udang yang merebak di sejumlah sentra produksi sejak tahun lalu mesti segera ditangani. Penyakit udang itu antara lain penyakit kotoran putih (WFD), bintik putih (WSSV), myo (IMNV), dan sindrom kematian dini (EMS).
Saat ini juga merupakan momen yang tepat bagi petambak udang menghemat biaya produksi di segala lini agar harga jual udang bisa bersaing dengan India dan Ekuador. Komponen biaya pakan yang mencapai 50 persen dari biaya produksi perlu dihemat agar biaya produksi lebih efisien. Selain itu, akses listrik perlu diperluas agar produksi udang bisa berkembang lebih intensif.
Di sisi hilir, terobosan dilakukan dengan mencari pasar alternatif di luar negara tujuan utama, yakni Amerika Serikat dan Jepang. Peluang pasar ke China, misalnya, terbuka lebar jika harga produk udang asal Indonesia bisa lebih berdaya saing. Saat ini China lebih memilih produk udang dari India yang harganya lebih murah atau pasokan dari Vietnam yang lokasinya lebih dekat dengan China.
Namun, yang tak kalah penting adalah keseriusan menggarap pasar dalam negeri. Kendati konsumsi udang nasional masih sangat rendah, yakni kurang dari 1 persen ekspor udang nasional, namun peluang pasar lokal terbuka seiring kegemaran masyarakat untuk makan ikan yang meningkat. Terobosan dimulai beberapa eksportir yang kini memasok udang berkualitas ekspor ke hotel, restoran, dan kafe.
Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menargetkan, pada 2022, pasokan udang beku berkualitas ekspor ke dalam negeri mencapai 10 persen dari total ekspor atau sekitar 20.000 ton.
Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar potensial bagi pemasaran produk perikanan. Sekarang saatnya menggarap pasar udang berkualitas tinggi untuk negeri sendiri. Pembenahan yang dibarengi inovasi menjadi kata kunci agar komoditas andalan nasional ini berdaya di dalam negeri dan luar negeri. (BM Lukita Grahadyarini)