Lucia Hartini, Perempuan di Jagat Surealisme
Lukisan-lukisan Lucia Hartini (60) menyuguhkan alam lain. Goresan kuasnya adalah persinggungan antara kenyataan sehari-hari dan jagat di luar sana. Pergulatan sebagai perempuan—baik sebagai individu, istri, ibu, dan nenek—dia tuangkan di kanvas besar. Meditasi tak cuma mengentaskannya dari kegetiran, tapi juga sepenarikan napas dengan lukisannya.
Ruang tamu rumahnya berlangit-langit cukup tinggi. Dengan begitu, si empunya rumah leluasa memajang lukisan-lukisan gigantik di dindingnya. Ada lima lukisan besar—dan dua yang lebih kecil—dipajang di sana. Salah satu yang terbesar adalah lukisan berjudul “Duh Gusti” yang berdimensi 3 x 3 meter.
Lukisan cat minyak berwarna dominan biru itu menggambarkan seorang perempuan menyeruak dari kumparan awan. Jubahnya menyatu dengan gumpalan-gumpalan awan. Tangannya terlipat di depan dada seperti berdoa. Di pojok atas kiri, ada bulan bulat sempurna dengan semburat wajah tersenyum.
“(Lukisan) Itu salah satu yang saya suka juga,” kata Lucia dengan rambut panjang tergerainya, ketika matahari sedang terik-teriknya di daerah Bugisan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa (11/6/2019).
Kita kadang-kadang menemukan permasalahan hidup yang banyak sekali, dan bingung akan ke mana. Kita cuma bisa membatin, ‘Duh, Gusti’
“Kita kadang-kadang menemukan permasalahan hidup yang banyak sekali, dan bingung akan ke mana. Kita cuma bisa membatin, ‘Duh, Gusti’. Ketika sudah kembali tenang, menemukan jalan, menemukan Tuhan, menemukan Gusti, jadi merasa damai. Gusti itu kan bagusnya hati,” lanjut dia menjelaskan lukisan yang dia selesaikan di 2017 itu.
Sepenggal kegetiran hidup Lucia terangkum dalam lukisan itu. Dia pernah keguguran. Dua pernikahannya kandas. Perceraian tak hanya membuatnya menjadi ibu tunggal bagi tiga anaknya. Lucia pun harus membangkitkan namanya di kancah masyarakat seni rupa. Dia menduga ada kecemburuan karier di dalam rumah tangganya.
Kerentanan itu pernah dia munculkan lewat lukisan berjudul “Payung Dua Ribu” yang dirampungkan tahun 1997. Di kanvas berukuran 2 x 1,5 meter itu, Lucia memunculkan sesosok perempuan berambut panjang memegang payung yang terbuat dari pusaran awan. Ada empat planet luar angkasa bersemayam di pusaran awan itu. Sang perempuan itu memalingkan wajahnya, sehingga tak terlihat jelas rupanya.
Lukisan itu dimuat dan diulas Sindhunata di Harian Kompas pada terbitan 2 Februari 1997. Saat itu, Lucia menceritakan perempuan (dalam lukisan) itu mewakili perempuan lain yang penuh penderitaan berat dalam memasuki abad baru. Bukan kebetulan, kala itu ada keresahan massal terkait pergantian milenium.
Laku hening
Lukisan bernuansa profetik itu menuai reaksi. Bersumber dari ulasan di koran, sekelompok orang di Surabaya mengidentifikasi tokoh dalam lukisan itu sebagai Master Ching Hai, seorang pemimpin kelompok meditasi metode Quan Yin, yang tenar di seluruh dunia. Beberapa pengikutnya menghubungi Lucia. Mereka lantas mempertemukan Lucia dengan sang guru, yang saat itu kebetulan sedang di Surabaya.
“Mereka sedang cemas menghadapi tahun 2000. Pesan di artikel koran, sedia payung sebelum hujan, sama dengan yang dikatakan guru itu. Saya lalu dikenalkan melalui telepon. Beberapa pengikutnya datang ke sini (rumah), ngobrol-ngobrol. Saya lalu ke Surabaya, ikut meditasi bersama,” kenang Lucia, yang sebelum peristiwa itu mengaku tidak pernah bermeditasi.
Laku hening itu rupanya menenangkan kegundahan Lucia. Dia melengkapinya dengan menjadi vegetarian. “Ternyata (meditasi dan vegetarian) enak. Hidup ini semakin tenang, semakin damai, seperti menemukan bahagia yang sejati,” tuturnya. Hingga hari ini dia teguh berpantang mengonsumsi produk hewani, dan bermeditasi setiap hari.
Meditasi itu membuka cakrawala baru dalam karya-karyanya. Lucia merasa, lukisan-lukisannya semakin memiliki dimensi makna. Ia menggambar apa yang ia “lihat dan rasakan” ketika bermeditasi. Benda-benda antariksa muncul di mana-mana. Ada pula lorong, pusaran angin dan awan, ombak, karang, gerbang, asteroid, dan bulan. Rupa jagat raya bersinggungan dengan kosmos mikro—manusia dan binatang.
Apa itu surealisme?
Kalangan seni rupa menganggap lukisan Lucia bergaya surealisme, seperti yang dipopulerkan Salvador Dali, maupun Roger Dean yang karyanya kerap jadi sampul album band rock Yes. Lucia tak pernah benar-benar meniatkan karyanya seperti itu. Semula, ia bahkan tak tahu apa itu surealisme.
“Enggak tahu surealisme itu bagaimana, karena kuliah juga enggak. SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) itu juga enggak tamat. Sekolah cuma dua tahun. Tahun 1977 dikeluarkan,” kata pehobi masak ini. Dia dikeluarkan karena dianggap tak patuh pada peraturan sekolah, terutama urusan memakai rok seragam.
Memang dia sendiri yang bersikukuh sekolah seni rupa, sampai mengabaikan keberatan orangtua. Sejak kecil, selain gemar menengadah ke langit, dia terbiasa melihat ayahnya melukis wayang sembari mendongeng. Sementara, sang ibu membatik untuk dipakai sendiri.
Lucia rela menunggu adiknya, Sisilia Hariyanti yang lebih muda satu tahun, agar bisa barengan masuk sekolah idaman itu. Kakaknya, Kuswanto, yang saat itu sudah mulai melukis, simpati dengan keinginan adik-adiknya. Kuswanto-lah yang mengurus pendaftaran dan mengantar mereka merantau ke Yogyakarta dari Temanggung. Sesekali, Kuswanto menengok ke rumah indekos adiknya, membawakan beras.
Sementara Lucia dikeluarkan, adiknya tetap melanjutkan sekolah seni, sampai tamat dari Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia, Yogyakarta). Teman-teman kuliah adiknya adalah teman dia juga. Dengan begitu, gairah melukis Lucia tetap terjaga. Angan-angan berpameran layaknya seniman mulai terbentuk.
Suatu ketika, teman sang adik, Titik (istri perupa Hari Budiono), melihat lukisan-lukisan Lucia. Titik bersama Sindhunata mendorong Lucia menggelar pameran. Maka terjadilah pameran pertama bersama sang suami di Bentara Budaya Yogyakarta tahun 1983. Dari situlah Lucia mendapati bahwa lukisannya bergaya surealisme.
“Sebenarnya saya melukis seenak sendiri, maunya ya begini ini. Baru tahu namanya surealis ya setelah pameran itu,” ujarnya. Sekarang, dia punya definisinya sendiri.
Surealis itu justru nyata, hanya tidak bisa dilihat mata orang pada umumnya. Hanya orang tertentu yang bisa melihat, dan bisa sampai ke sana
“Surealis itu justru nyata, hanya tidak bisa dilihat mata orang pada umumnya. Hanya orang tertentu yang bisa melihat, dan bisa sampai ke sana,” ucapnya. Dia kini membubuhkan “surrealist artist” pada profil akun Instagram, yang dibuatkan anak keduanya Roro Handani, setahun silam.
Perjalanan hidup dan laku spiritual Lucia terlalu panjang untuk dirangkum di tulisan ini, apalagi lewat unggahan di media sosial. Oleh karena itu, dia berencana menuangkannya ke dalam kanvas besar, berukuran 10x3 meter. Untuk mewujudkannya, dia mau merampungkan bangunan studio lebih besar yang berlokasi tepat di seberang rumahnya.
“Menunggu dapat rejeki lagi untuk menyelesaikan studio itu,” kata dia. Ini masalah riil.(HEI)
Lucia Hartini
Lahir: Temanggung, Jateng, 10 Januari 1959
Anak:
- Loki Loko Rauda (40)
- Roro Handani (35)
- Alif (10)
Cucu: Alutfi Yufo Mahendra (15)
Penghargaan:
- “Prathika Adhi Karya” untuk karya Sketsa Terbaik (1976).
- “Prathika Adhi Karya”, untuk karya Sketsa dan Lukisan Terbaik (1977).
- “Jakarta Art Awards”, Penghargaan Khusus (2006).
Beberapa Pameran:
- Pameran tunggal Lukisan Lucia Hartini, Bentara Budaya Jakarta, 1992.
- Pameran bersama Confess and Conceal, Insights From Contemporary Australia and South East Asia di The Gallery of Western, Australia, 1993.
- Pameran tunggal Batas Antara Dua Sisi, Bentara Budaya Yogyakarta, 1994.
- Pameran bersama di National Gallery of Art, Bangkok, Thailand, 1994.
- Pameran tunggal Spirit of Life, Bentara Budaya Jakarta, 2002.
- Pameran bersama penggalangan dana untuk Yayasan Kanker Indonesia, Charity Indonesia, Jakarta, 2016.