PUISI
Afri Meldam
Andaikan Kita Tersesat di Perut Hutan
kita membelah sebatang pohon damar
bukan untuk meniru Nuh yang akan mengarungi lautan
kita ayunkan kapak paling besar hingga pengar
“inilah pintu ke dalam perut hutan!”
kita masuk ke sana. berdua saja
kudengar kau membaca doa-doa
entah berapa pohon lagi di depan kita
tandan-tandan buah merah darah
di dalam perut hutan beroma malam
kita berharap untuk kembali saja ke tubir mimpi
atau menjadi dua bocah ingusan
dengan mainan dan semesta sendiri
Kalibata, 2018
Mantra Dapur Ibu
peri bumbu bermata seribu, oi keluar!
demi sengat lada dan aroma ketumbar
kau jeranglah waktu sampai beku
aku mengaduk serbuk harum ruku-ruku
sejumput pala dan cengkih dari perjalananmu
selembar kayumanis kubenamkan dalam rindu
kita masak ikan garing asam pedas
biar menanak segala yang bergegas
kuah santan oi menggelegak
lidah kanak-kanakku sudah bengkak!
Kalibata, 2018
Deddy Arsya
Tangsi untuk Ahmad Marzoeki
Di situ, empat orang raja, duduk bersila
di atas munggul kayu tua. Ada tiga orang tuanku
menitah pada burung, seperti bunyi gesek aur bunyi titahnya,
melewati sebuah lembah, di garis matahari naik matahari turun,
di tepi jalan besar tuan komandur, dengan kereta angin,
dan opas menepikan kuda, mengalir batang air,
matahari dekat terasa. Ada tempat
di mana ragam rindu tak berselisih dengan cuaca
di kubu yang kukuh, dari segala jurusan terdengar
salak meriam, seperti bunyi aur, kataku, bergesekan
tebing tarahku buncah di lurah penuh angin,
seorang alim juru terang, Imam Perang,
telah turun dari parit-parit penuh ranjau,
pada dahulumu, tempat aku meletakkan siku,
di situ mengalir sungai amarahmu,
di gelanggang menggejolak api.
Mungkin negeri ini dulu hanya padang kuda
sialang setinggi paha dan jika senja hilang-raib
ke dalam kelumunmu, lalu di pinggir bukit ini
kau tatah tanah dan tali-tali nasib memanjang
bagai kau tarik selendang kuning mayang
dari pundakku. Mungkin kita tak butuh cinta
atau yang semacamnya, dalam tindakan wajar
kukulum lagi hasratku dari tepi kawahmu,
merabuk udara, hibuk pucuk-pucuk akasia,
di pangkalnya, empat orang raja, duduk bersila
di atas munggulnya, munggul tua, kataku.
Pada lepuh damar, telah tumpah dawat
ke kuning kertas, telah terbang kawat
ke jarak luas, di luar keras angin, menampar
-nampar, pucuk pisang melepai-lepai
dan berderit engsel
dan palang pintu tanggal.
Hari Penjemputan
– bagi Abdulmanan
Telah merapat kapal
dengan bising mesin
telah kurapal yang kauajarkan kemarin:
hiduplah sebagaimana orang hidup
duduk di kafe, pesan teh Amerika
bersiul lagu matahari terbenam
tidur siang dan bangun menjelang subuh
pergi ke masjid sebagaimana biasa
melihat air sawah dan tunas pertama
dari kelopak bawang.
Telah tiba jemputan
dengan suara keras memanggil
telah duduk opsir di kursi malas
di serambi kau tinggal mendengar
siul terakhir
sebelum
salvo
dan nafas jadi getir.
Mengiau juga kucing
di bilik, di bawah dipan
pulang sendiri kuda
dari medan perang
membawa tuannya
dengan lubang meriam
menganga di dada.
Mungkin perlu
meratap juga kami
sekadarnya
bukti berduka
tanda tak ada
setelah ini
yang mesti ditangisi
– lagi.
Para pengkhotbah toh juga tak sampai ke sini
Tuhan telah lama terpaku di tiang palang itu.
Kepak Alir ke Hilir
Menyelam ruku-ruku, asam kandis, jahe, kunyit
kardamanggu, serai, segala bumbu
bertempik, bersorak…
berpadu dalam gelegak belangamu.
Ikan-ikan merapat di situ, mata jala mengikat, telah kupaku
setiap pintu alir, dan gerak kepak ke hilir
telah kuselami setiap lekukmu
telah kucicipi palung hasratmu
berenang aku di lubuk paling dangkal dan paling dalammu
merentak aku di bukit paling mengkal dan paling curammu
telah menegang kuncupmu
telah menyepak kelambitku.
Menyelam ruku-ruku, asam kandis, jahe, kunyit
kardamanggu, serai, segala bumbu
bertempik, bersorak…
berpadu dalam rubuh-gemeretak dapurmu.
Mengundang Makan
Jadi bagaimana, nasi telah beku di atas bejana
kata-kata telah terkebat bagai buhul di ujung kain
kita masih akan bersiasat dengan lidah yang makin lama
makin terasa majal, dan lutut yang ngilu lagi padat-pedar?
Jadi bagaimana, sendok-sendok telah jadi dingin
dan tikar telah kusut, gorden direnggut-renggut
kita masih akan bersitatap dengan mata yang makin lama
makin penuh pasir, dan kepala yang makin berat lagi pengap?
Siasat di Akhir Gelap
Apakah yang membuatmu turun di akhir gelap?
Barangkali ada berharap menemukan teh hangat,
cangkul-parang berdentang di ladang, langkah menetak
embun, keringat mengucur dalam diam
di badan demam, makan siang dari sang istri,
dan cerita tentang anak-anak yang meraba-rambah jalan di pagi buta,
menggambar pondok dan semangka, pisang masak di batangnya
di ladang halaman belakang masa depan berlompatan
bagai lompatan angsa-angsa di antara teratai menguning
dan kolam-kolam berair hijau, rama-rama diam di puncak bunganya,
ikan-ikan kecil warna-warni dan kapal-kapalan berbunyi kletek kletek,
dan merah perapian terang-nyala menghanyutkan gigil kita.
Apakah yang membuatmu turun di akhir gelap?
Barangkali hujan yang jatuh riang di wajah anak-anak
tapi seribu tahun hidupku bersamamu hanya seutas bayang
-bayang, begitu cepat masa sirna-hilang
setelah pekik satu waktu retak dari liang sejarah
setelah zaman bikin keranda, merenggut-renggut hendak lepas
dari badan jiwa, berbaris-baris beribu-ribu ke pinggir lubang,
di ladang halaman belakang, bergolek-golek kepala.
Apakah lagi yang memaksamu turun di akhir gelap?
Afri Meldam lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Menyelesaikan studi di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Kini menetap di Jakarta.
Deddy Arsya sedang mempersiapkan buku puisi terbarunya, Khotbah Si Bisu, setelah Odong-odong Fort de Kock (2013) dan Penyair Revolusioner (2017).