Sebanyak 110 narapidana yang kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dan Rumah Tahanan Lhoksukon, Aceh Utara, hingga kini belum berhasil ditangkap. Komisi III DPR menilai, jajaran Kantor Wilayah Aceh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berkinerja buruk sehingga kasus kerusuhan di lapas terus berulang.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sebanyak 110 narapidana yang kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Banda Aceh dan Rumah Tahanan Lhoksukon, Aceh Utara, hingga kini belum berhasil ditangkap. Komisi III DPR menilai, jajaran Kantor Wilayah Aceh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berkinerja buruk sehingga kasus kerusuhan di lapas terus berulang.
Rincian napi yang kabur itu adalah 70 orang dari Lapas Kelas II A Banda Aceh dan 40 orang dari Rutan Lhoksukon. Napi dari Banda Aceh kabur pada November 2018 dan napi Rutan Lhoksukon kabur pada 16 Juni 2019.
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, dihubungi pada hari Minggu (23/6/2019), mengatakan, aparat kepolisian dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) harus menemukan kembali napi yang kabur dari penjara. Sebab, mereka adalah pelaku kriminal yang harus menjalani hukuman.
Nasir mengatakan, kerusuhan di lapas di Aceh terjadi berulang-ulang menunjukkan kinerja jajaran Kemenkumham di Aceh buruk. Dalam rentang waktu tujuh bulan, kerusuhan terjadi di tiga lapas/rutan di Aceh, yaitu Lapas Kelas II A Banda Aceh, Rutan Sigli, dan Rutan Lhoksukon. Saat kerusuhan, sebagian napi kabur dan hingga kini belum ditemukan.
”Biasanya kerusuhan terjadi karena ada provokasi napi tertentu. Namun, Kemenkumham tidak boleh menyalahkan napi untuk menutupi kelalaian mereka,” ujar Nasir.
Biasanya kerusuhan terjadi karena ada provokasi napi tertentu. Namun, Kemenkumham tidak boleh menyalahkan napi untuk menutupi kelalaian mereka.
Nasir menambahkan, sumber daya manusia di lapas terutama sipir masih bermasalah. Kemampuan komunikasi rendah dan psikologi belum matang. Selain itu, adanya praktik nepotisme membuat kecemburuan antarnapi. ”Sudah menjadi rahasia umum di lapas ada beberapa napi yang mendapatkan pelayanan istimewa,” ujar Nasir.
Kepala Kantor Wilayah Aceh Kemenkumham Agus Toyib mengatakan, pencarian napi yang kabur itu diserahkan sepenuhnya kepada kepolisian. Sementara pihaknya fokus membenahi pengelolaan lapas dan rutan agar kasus kerusuhan tidak berulang.
Saat ditanyai lebih jauh apa upaya yang dilakukan untuk menangkap napi yang kabur, Agus meminta Kompas agar pemberitaan terkait masalah ini tidak dilanjutkan. ”Pemberitaan tentang pelarian napi dari Lapas sudah banyak dimuat di media cetak, media elektronik, dan media sosial, rasanya sudah cukup,” kata Agus.
Agus meminta para pihak agar membiarkan mereka bekerja menata kembali pengelolaan lapas. Sebab, lanjut Agus, persoalan di lapas tidak mudah. ”Masih banyak hal yang harus kita lakukan. Terima kasih atas perhatian dan pengertiannya,” ujar Agus.
Peristiwa pembobolan Lapas Kelas IIA Banda Aceh terjadi pada 29 November 2018. Awalnya, sebanyak 113 napi kabur, tetapi sebagian dapat ditangkap kembali oleh polisi. Pada 3 Juni 2019, napi di Rutan Sigli mengamuk dan membakar bangunan, tetapi tidak ada yang kabur. Kasus terakhir adalah kerusuhan di Rutan Lhoksukon, sebanyak 73 napi kabur, tetapi yang belum berhasil ditangkap sebanyak 40 orang.
Sebelumnya Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Ery Apriyono mengatakan, foto-foto napi yang kabur telah disebar kepada publik. Ery mengatakan, polisi masih berupaya memburu para napi itu.