Di tengah ekonomi yang terus bertumbuh, Jakarta perlu mewaspadai ketimpangan ekonomi warga yang masih tinggi. Kue ekonomi yang besar tidak bisa dinikmati merata oleh semua golongan ekonomi.
Oleh
M PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Di tengah ekonomi yang terus bertumbuh, Jakarta perlu mewaspadai ketimpangan ekonomi warga yang masih tinggi. Kue ekonomi yang besar tidak bisa dinikmati merata oleh semua golongan ekonomi.
Perputaran ekonomi Jakarta sebagai pusat ekonomi cukup besar. Paling tidak, 70 persen uang di Indonesia beredar di Jakarta. Hal ini menggenjot pertumbuhan ekonomi ibu kota. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Jakarta berkisar 5,9-6,22 persen.
Pendapatan per kapita warga pun terus naik tiap tahunnya. Tahun 2015 masih berkisar Rp 195,46 juta per orang setahun. Tahun 2018 mencapai Rp 248,3 juta, tertinggi di Indonesia.
Kue ekonomi yang besar tidak bisa dinikmati merata oleh semua golongan ekonomi.
Namun, pendapatan per kapita bukanlah gambaran pemerataan. Angka rasio gini DKI Jakarta masih cukup tinggi. Data BPS pada September 2018 menunjukkan angka 0,39 yang lebih tinggi dari angka nasional 0,384. Angka rasio gini mendekati 1 menunjukkan kesenjangan pendapatan penduduk yang semakin makin tinggi. Pada periode yang sama, angka rasio gini DKI Jakarta juga berada pada 10 besar provinsi dengan rasio gini tertinggi.
Tahun 2018, ekonomi Jakarta tumbuh hingga 6,17 persen, lebih tinggi dari angka nasional sebesar 5,18 persen. Legitnya kue pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati masyarakat berpendapatan menengah atas. Masyarakat bawah belum punya banyak peluang menikmati porsi kue ekonomi yang lebih besar lantaran sulitnya mereka terserap di lapangan kerja yang tersedia.
Gambaran ketimpangan di ibu kota terlihat dari jejeran perkampungan kumuh di lahan ilegal seperti bantaran sungai, rel kereta api, atau di kolong tol. Mereka yang tinggal di sana tidak mampu mendapatkan tempat tinggal layak di ibu kota.
Di sisi lain, rumah dan apartemen berharga miliaran rupiah terus bertumbuh dan laku terjual kepada konsumen kelas atas. Bahkan tak jarang, warga kelas atas memiliki lebih dari satu unit properti.
Timpang sejak merdeka
Merujuk pada Laporan Bank Dunia “Indonesia’s Rising Divide (2015), salah satu faktor yang berkontribusi pada ketimpangan di Indonesia adalah ketahanan ekonomi yang rendah. Hal ini umumnya terjadi karena bencana alam dan perang.
DKI Jakarta pernah mengalami ketimpangan ekonomi jenis ini pascaperang kemerdekaan hingga masa pemberontakan PKI. Tahun 1950-an, DKI Jakarta dijejali kaum migran dari luar DKI Jakarta yang ingin meningkatkan kesejahteraan di ibu kota.
Jakarta sebagai pusat pemerintahan baru menjanjikan kemakmuran dan segala kelengkapan fasilitas. Terjadi persaingan memperebutkan pekerjaan dan fasilitas antara warga DKI dan kaum migran.
Tahun 1970-an, jurang pemisah antara kaya dan miskin makin jelas. Pada periode 1970-1976, mengutip buku “Jakarta Sejarah 400 Tahun (Blackburn, 2002), nilai riil pengeluaran 40 persen warga miskin, naik 25 persen. Sebaliknya, pengeluaran 30 persen warga kaya, meningkat 50 persen.
Hal ini terjadi karena banyak penduduk yang tidak terserap dalam industri berteknologi modern yang banyak menggunakan mesin. Di sisi lain, industri tradisional kehilangan pasar yang telah dicukupi industri modern serta kesulitan untuk mendapatkan pinjaman.
Masih merujuk pada Laporan Bank Dunia tahun 2015, tingginya ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, tak terkecuali DKI Jakarta, adalah pekerjaan yang tidak merata. Tidak sedikit warga Ibukota yang menjalankan pekerjaan dengan tingkat produktivitas rendah, bersifat informal dan berupah rendah.
Angkatan kerja di DKI Jakarta pada Februari 2018, mayoritas (42,6 persen) berpendidikan menengah (SMP-SMA). Hanya 20,39 persen yang berpendidikan sarjana. Angka tersebut juga menunjukkan penurunan dibandingkan Agustus 2017 (23,94 persen).
Tenaga kerja berkualitas tinggi yang proporsinya kecil tersebut akan menerima upah tinggi dan cenderung naik sesuai dengan ketrampilan yang dimiliknya. Adapun tenaga kerja berpendidikan rendah dan sedang yg proporsinya mencapai sekitar 79 persen tersebut akan menerima upah rendah dan tidak semua terserap pada sektor formal.
Perbedaan upah antara tenaga kerja berpendidikan tinggi dan rendah masih akan terjadi. Kaum migran yang bermigrasi ke DKI Jakarta rata-rata berpendidikan rendah hingga menengah. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 mendata, ada 49 persen migran risen yang sekolah hingga SMP-SMA dan 25,7 persen yang berpendidikan rendah.
Mempersempit Ketimpangan
Jurang ketimpangan antar kelompok warga Ibukota penting mendapatkan perhatian pemerintah agar tidak semakin timpang. Ketimpangan yang terus melebar dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi ke depan jika warga berpenghasilan terendah gagal keluar dari dari kemiskinan.
Penelitian Bank Dunia (2015) menunjukkan, saat total penghasilan dari 20 persen warga terkaya naik 5 poin persentase, maka pertumbuhan ekonomi turun 0,4 poin persentase.
Selain itu, tingginya ketimpangan bisa menimbulkan dampak sosial dan mempertajam konflik. Semakin tingginya angka kriminalitas serta makin bervariasinya jenis kriminalitas di Jakarta salah satu akibatnya. Data Kriminal DKI Jakarta menurut Polda Metro Jaya pada 2018 mencapai 32.301 kasus.
Kebijakan pemerintah yang memihak rakyat kecil bisa mengurangi kesenjangan ekonomi di DKI Jakarta. Berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah DKI Jakarta. Diantaranya, Program Kartu Jakarta Pintar Plus, Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Mahasiwa Unggul, Kartu Lansia, Kartu Pekerja Jakarta, menyelenggarakan operasi pasar rutin, Pengembangan Kewirausahaan Terpadu, serta Program Samawa untuk menyediakan perumahan yang terjangkau pada warga Ibukota.