Di Atas Tanah Retak
Warga Desa Sela Cengkar menemukan mayat Maruti pagi itu ketika embun belum tuntas membasahi daun-daun. Mayat gadis itu tergantung di dahan pohon randu alas. Lehernya terikat tali tambang. Bergenteyongan. Lidahnya menjulur. Matanya menatap hamparan tanah retak.
Tangis ibu Maruti pecah, disertai tangis sanak saudaranya. Tangis mereka mencakar-cakar udara pagi.
Tanpa diperintah, beberapa lelaki memanjat pohon. Ikatan tali tambang di dahan dibuka, lalu disambung tali puluhan meter. Pelan-pelan orang-orang menurunkan mayat Maruti, hingga sampai tanah. Adegan ini diiringi tangisan, jeritan, dan lengkingan suara menyebut nama Tuhan berulang-ulang.
”Owalah nduk, sidane kowe mati nggantung....” (1) teriak nenek Maruti.
Orang-orang memandang wajah nenek Maruti. Namun, sang nenek tak peduli, ”Lho, Maruti ki le kepingin nggantung wis bola-bali.... Ngapa kowe kabeh gumun?”(2).
Orang-orang terdiam. Mayat Maruti pun langsung dibawa pulang untuk disucikan.
♦♦♦
Orang-orang mengenang Maruti tak lebih dari gadis desa pada umumnya. Sejak bocah, ia sehari-hari menapaki tanah-tanah retak di perbukitan gersang. Sepulang sekolah, ia harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mencari air. Beberapa telaga yang kering membikin ia ternganga. Pedih. Yang ia temui hanya batu-batu dan kerikil hitam mengilat disengat sinar matahari.
Selebihnya, ia hanya bisa menunggu pengumuman dari kelurahan kapan truk tangki air datang dari kota. Setiap pengumuman itu berkumandang, sontak ia bersama gadis-gadis lain berlarian menuju halaman kantor kelurahan. Tangan mereka bergenteyongan membawa jeriken plastik. Antrean sangat panjang membuat Maruti baru sore sampai rumah. Pekerjaan itu dilakukan setiap hari dan bertahun-tahun, saat musim kemarau memanggang Desa Sela Cengkar, sampai Maruti tumbuh jadi perawan.
Meskipun nyaris setiap hari dibakar sinar matahari, kulit Maruti tidak terlalu gelap. Ini menambah keindahan tubuhnya yang tinggi semampai. Menyatu dengan wajahnya yang cantik dan damai serta rambutnya panjang yang terurai.
Maruti tumbuh jadi gadis lugu. Selepas SMA, ia bekerja jadi pelayan toko besi di dekat pasar, yang jaraknya sekitar sepuluh kilo dari rumahnya. Meskipun gajinya pas-pasan, ia masih bisa memberi sedikit uang pada ibunya yang masih bekerja di dalam rombongan penari tayub pimpinan Widarso, tokoh adat di Desa Sela Cengkar.
”Maruti, minggu depan kamu menari ya,” mendadak suara ibunya terdengar dari dalam kamar yang berimpitan dengan meja makan. Maruti tak langsung menjawab. Ia menyelesaikan makan malamnya. Nasi merah, sayur bening bayam liar, walang goreng dan sambal terasi.
”Kebetulan, Darsi enggak bisa ikut pentas. Katanya, lagi ngurus perceraiannya di pengadilan. Kamu gantikan dia ya....” Ibunya mendekati Maruti.
Maruti menoleh. Menatap ibunya.
”Kamu ikut mbarang ya... jadi ledek tayup.... Mau to?”
Maruti masih diam. Tak bereaksi ketika ibunya mengeluarkan pakaian tari, kain, dan kebaya. Juga selendang.
”Aku yakin kamu bisa. Minggu depan rombongan kita ditanggap di kelurahan. Katanya, untuk bersih desa dan upacara minta hujan. Kamu harus ikut nari.”
Maruti tak membantah.
♦♦♦
Pentas ledek tayup itu disambut hangat. Para penonton dan petinggi desa dan kecamatan sangat suka. Terutama melihat kecantikan Maruti. Dengan rias tipis, tanpa bulu mata palsu, wajah gadis itu tampak ayu. Tubuhnya bersih. Lumayan padat dan berisi. Gerak tariannya juga lumayan luwes. Seirama dengan talu gamelan yang dimainkan para pengrawit cekatan. Para tamu terhormat pun turun ke gelanggang. Mereka ngibing. Silih berganti menari bersama Maruti. Bau keringat tubuh Maruti bercampur harum deodoran menguar, membuat banyak laki-laki bergairah menari.
Dargo, laki-laki gemuk berpeci hitam, sejak awal pertunjukan selalu mengamati Maruti. Tangan kanannya tampak memutar-mutar tasbih. Mulutnya komat-kamit. Namun, matanya tak pernah lepas membidik tubuh Maruti yang bergoyang. Beberapa kali Dargo menahan napas.
”Bapak tidak ikut ngibing?” ujar Pak Kepala Desa yang duduk di samping Dargo.
Dargo tertawa kecil. ”Orang macam saya ini mana pantas nari tayup? Tidak ilok. Tabu.”
”Sekali-kali kan enggak apa-apa, Pak.”
”Ah jangan. Jangan.”
”Bapak kan bisa lepas peci?”
”Ya, ndak bisa.... Nanti orang-orang bisa marah. Saya kan telanjur dicap sebagai pendoa dan jadi panutan....”
”Tapi, Maruti boleh juga lho Pak.... Goyangannya asyik....”
”Ah, njenengan ini lho... nggoda-nggoda iman saya,” Dargo tersenyum. Kakinya terlihat bergerak-gerak. ”Eh, Pak Kades... boleh juga tuh anak.... Bisa dikenalkan saya?”
”Oh, beres. Beres.”
Usai pentas tayup, seluruh rombongan penari dan pemusik makan di ruang depan kelurahan. Hanya Maruti yang diperbolehkan makan di dalam kamar bersama Dargo dan Pak Kades. Dargo punya kesempatan untuk mengamati kecantikan Maruti. Juga menikmati suara, tutur katanya yang halus. Beberapa kali Dargo menahan napas. Mereka pun ngobrol. Dargo tampak bergairah bicara tanpa peduli pada Maruti yang lelah. Beberapa ucapan nakal pun sempat terlontar, tapi Maruti menanggapinya dengan tersenyum. Dari ibunya, Maruti pernah mendengar, kebanyakan laki-laki itu berubah nakal bila ada kesempatan. Kamu mesti hati-hati, Maruti.
♦♦♦
Kematian Maruti telah menambah deretan panjang kasus orang gantung diri di Desa Sela Cengkar. Orang-orang pun langsung menghubungkan kasus itu dengan mitos pulung gantung yang sudah mengendap dalam benak. Pulung gantung muncul pada saat-saat tertentu. Pada malam hari ada cahaya merah melesat di langit. Bentuknya menyerupai siwur. Cahaya itu kemudian jatuh di permukiman warga desa. Orang-orang percaya, rumah siapa pun yang kejatuhan cahaya itu dipastikan ada penghuninya yang memilih mati dengan cara menggantung diri.
Untuk menghindari musibah itu, setiap pulung gantung muncul di langit, warga desa pun memukul kentungan. Bertalu- talu. Namun tetap saja ada orang bunuh diri. Biasanya mereka yang gantung diri itu punya masalah dalam hidupnya. Ada yang sakit menahun tak sembuh-sembuh. Ada yang hidup menganggur. Ada yang putus asa. Ada pula yang malu karena punya aib atau dilecehkan tetangga.
”Sudah lama Maruti selalu ingin nggantung diri...,” ucap nenek Maruti kepada para tetangga seusai acara selamatan 40 hari kematian Maruti.
Orang-orang terdiam. Beberapa saat kemudian mendadak perempuan renta dengan wajah jeruk purut itu berubah perangai. Tubuhnya menegang. Matanya membelalak. Mulutnya menumpahkan kata-kata, ”Yoh... kowe saiki njupuk putuku. Maruti ki salah apa? Salah apa? Biyen, bojoku wis tok jaluk. Anakku yo tak rebut. Malah mantuku yo tok pateni.... He, buto edan, rasakna piwalesku. Rasakna pilawalesku!” (3) Nenek Maruti mengibas-ibaskan kerisnya. Merobek-robek angin. Tangannya seperti menikam- nikam. Lalu, ia menjerit panjang dan tumbang. Orang-orang berhamburan menolong.
Beberapa hari setelah kematian Maruti, nenek Maruti bercerita, cucunya itu setiap malam didatangi raksasa berwajah api. Raksasa itu menyerang dan meringkus tubuh Maruti. Maruti menjerit-jerit. Neneknya langsung mengibaskan-ibaskan kerisnya hingga Maruti jadi tenang kembali.
♦♦♦
Seperti biasanya, Maruti tidur sendirian di kamar. Mendadak tubuhnya disekap sosok hitam. Wajahnya dibebat kain. Maruti kaget langsung terbangun. Namun, tubuh sesosok itu telah menindih tubuh Maruti. Maruti melawan. Tetapi, tenaga Maruti terlalu lemah. Sosok itu dengan paksa melucuti pakaian Maruti, lalu menerkamnya serupa serigala menerkam kijang lemah. Ketika serigala itu mengaum puas, Maruti membuka paksa kain yang membebat wajah sosok itu. Maruti kaget. Ia pun menjerit. ”Dargo! Bajingan, kowe!”
Maruti tak berani lapor polisi karena Dargo orang kuat di desa itu. Pengikutnya pun banyak dan sangar. Ia hanya berani mengungkapkan peristiwa naas itu kepada bapak, ibu, dan neneknya.
Beberapa bulan kemudian, jantung Maruti terasa berhenti berdetak setelah mendengar ucapan dokter puskesmas bahwa dia hamil. Jiwa Maruti terasa dihantam martil besar dan berat. Ia pun nekat menemui Dargo. Namun, Dargo hanya menyeringai. Pamer taring. Kemarahan Maruti tak terkendali. Ia meludahi wajah Dargo.
♦♦♦
Malam tanpa bulan. Tanpa bintang. Empat sosok lelaki mengendap-endap. Membuka paksa pintu rumah Maruti. Mereka melihat Maruti tergolek di atas ranjang kayu. Dalam sekejap ada tangan berkelebat, memukul tengkuk Maruti dengan lonjoran besi. Maut merenggut nyawa Maruti dengan sangat tenang. Lalu, mereka langsung membawa tubuh Maruti keluar. Menembus malam. Masuk hutan di pinggir desa.
Paginya, orang-orang menemukan mayat Maruti tergantung di dahan pohon randu alas yang terkenal angker. Lidahnya menjulur. Tubuhnya bergenteyongan. Orang-orang pun langsung menghubungkan peristiwa itu dengan pulung gantung yang melesat di langit dan jatuh di rumah Maruti.
Catatan:
1) Owalah nduk, sidane kowe mati nggantung. Artinya, Owalah... akhirnya kamu mati dengan cara gantung diri.
2) Lho, Maruti ki le kepingin nggantung wis bola-bali.... Ngapa kowe kabeh gumun? Artinya, Lho Maruti itu sudah lama ingin gantung diri. Kenapa kamu heran?
3) Yoh... kowe saiki njupuk putuku. Maruti ki salah apa? Salah apa? Biyen, bojoku wis tok jaluk. Anakku yo tak rebut. Malah mantuku yo tok pateni.. He, buto edan, rasakna piwalesku. Rasakna pilawalesku! Artinya, Kamu sekarang mengambil cucuku. Maruti itu salah apa? Salah apa? Dulu, suamiku sudah kamu minta. Anakku ya kamu rebut. Malah menantuku juga sudah kau bunuh. He raksasa gila, rasakan pembalasanku. Rasakan pembalasanku.
4) Mbarang artinya ngamen
5) Ditanggap artinya diminta main (pentas)
6) Siwur: gayung terbuat dari tempurung kelapa dengan tangkai bambu.
Indra Tranggono, Penulis Tinggal di Yogyakarta. Empat kumpulan cerpen telah terbit (Sang Tedakwa, Iblis Ngambek, Menebang Pohon Silsilah dan Perempuan yang Disunting Gelombang). Sebanyak 12 kali cerpennya masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Pada tahun 2015, ia mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas.
Tasia Sugiyanto, lahir di Jakarta, 10 Desember 1995. Telah menyelesaikan pendidikan dalam Studio Grafis Program Studi Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Sekarang bekerja di sebuah digital marketing agency, Studio Lengua, dan menjalankan usaha vintage clothing terkurasi bernama @ku_ri_mu di portal daring Instagram.