Ibu Kota tempo dulu tentulah tak sehiruk-pikuk sekarang. Banyak yang baru dari perawakan Jakarta, tetapi ternyata ada tempat-tempat di Jakarta yang seolah menolak untuk larut mengikuti zaman. Ketika wilayah sekelilingnya berubah drastis, sebuah rumah makan tetap bertahan dengan ritme dan wajah sama seperti ketika pertama kali didirikan pada 1960.
Di Jalan Taman Sari X/6 yang masih masuk wilayah Kota Tua Jakarta, perawat ingatan masa lalu Jakarta itu berupa rumah makan sederhana tanpa papan nama. Karena tak punya nama, pelanggan menjulukinya sebagai Gado-gado Taman Sari. Sesuai nama jalan tempat rumah makan ini setia melayani konsumennya.
Tanpa papan nama, sekilas rumah makan ini serupa dengan kediaman kakek nenek zaman dulu. Bagian mukanya bercat putih dan biru. Jendela kayunya berjeruji dan hanya ada papan kayu penanda dengan tulisan ”Buka” yang tergantung di jerujinya. Di bagian tengah terdapat pintu besi berwarna biru yang selalu tertutup rapat.
Dari sejak pertama kali buka, rumah makan hanya menyediakan satu menu, yaitu gado-gado. Hingga kini, mereka juga bertahan untuk tidak membuka cabang di mana pun. ”Dulu daerah ini sepi. Kala itu, yang beli hanya ibu-ibu rumah tangga,” ujar pemilik generasi kedua dari Gado-gado Taman Sari, Iing, Kamis (20/6/2019).
Ibarat memasuki sebuah rumah tinggal, tamu restoran akan dijamu di meja dan kursi yang diletakkan di bagian teras dan garasi rumah. Ada pula pilihan duduk di bagian dalam rumah dengan kursi-kursi kayu sederhana. Bangku-bangku juga tampak berderet di dekat meja kasir di pojok teras depan.
Ketika tiba jam makan siang atau pada akhir pekan, deretan bangku ini disesaki pelanggan yang memilih membungkus gado-gadonya dibawa pulang. Menjelang sore, ruangan terasa lebih lengang. Namun, lebih baik jika bertandang jangan terlalu sore karena gado- gado bisa saja sudah ludes terjual.
Apalagi, Gado-gado Taman Sari hanya buka dari pukul 08.30 sampai pukul 16.00. ”Ada yang sarapan, tetapi enggak begitu banyak. Banyakan datang pada siang hari. Kami tutup cepat karena sudah harus bangun dari jam setengah tiga pagi untuk meracik bahan,” kata Iing.
Sebelas sayur
Teriknya matahari di Kota Tua yang sanggup membuat emosi merambat hingga ke ubun-ubun segera hilang ketika gado-gado terhidang di meja. Porsi gado-gadonya sangat pas untuk perut yang kelaparan pada jam makan siang. Takarannya tak terlampau banyak dan tidak terlalu sedikit.
Aneka sayur dalam sepiring gado-gado ini seolah terselimuti sambal kacang lumer yang membanjiri permukaannya. Potongan lontong yang lembut segera menyatu dengan manisnya sambal kacang dan segarnya sayuran. Iing menyebut ada 11 macam sayuran dalam sepiring gado-gado.
Sebelas sayuran tersebut antara lain taoge, mentimun, kacang panjang, kentang, daun selada segar, dan pipilan jagung. Ada pula nangka muda yang terlebih dulu direbus. ”Yang bikin enak ya jeruk limonya. Dari tahun 1960, kami enggak pakai plang, hanya dari mulut ke mulut,” kata Iing.
Setiap sayuran segar sengaja dipilih dengan hati-hati. Restoran ini memiliki pemasok sayur langganan di pasar yang sudah tahu betul standar kualitas sayuran yang dibutuhkan. Seorang nenek yang menjadi pelanggan restoran, misalnya, menyebut sulit menemukan gado-gado dengan pipilan jagung manis yang rasanya pas seperti di Gado-gado Taman Sari.
Karena itu, si nenek lantas meminta tambahan pipilan jagung manis untuk gado-gado yang dipesannya. Iing bercerita, ada pula konsumen yang sampai membawa kacang mede agar dicampur ke bumbu kacang di gado-gado pesanannya. Padahal, bumbu kacang di rumah makan ini sebenarnya sudah diracik dengan tambahan kacang mede.
Bumbu ulek
Sebelum diulek dengan tangan, bahan baku adonan bumbu kacang sudah terlebih dulu diblender sehingga menghasilkan tekstur nan lembut. Bumbu kacangnya terbuat dari kacang tanah, kacang mede dengan campuran cabai, gula, garam, jeruk limo, dan dikucuri air buah asam jawa. Buah asam yang masih segar terlebih dulu direbus untuk diambil airnya.
Pegawai rumah makan meracik bumbu tersebut di depan etalase kaca yang berisi aneka bahan sayur. Selain bahan racikan gado-gado, etalase juga menyimpan kerupuk udang dan emping melinjo yang merupakan pelengkap hidangan gado-gado. ”Enggak ada resep rahasia,” kata Iing.
Memesan sepiring gado- gado tidaklah lengkap jika tanpa lauk pelengkap, seperti tempe goreng, tahu goreng, dan ayam goreng. Ayam goreng di rumah makan ini terasa istimewa dari olahan ayam kampung bumbu kuning yang bumbu gurihnya meresap hingga ke tulang-tulangnya. Ayam goreng ini dilengkapi dengan sambal kacang nan segar.
Untuk minuman, pelanggan bisa memesan green apple tea yang rasanya benar- benar menyegarkan. Paduan asam manisnya sangat pas diseruput seusai melahap sepiring gado-gado. Sebagian konsumen memilih memesan cincau hijau segar yang dijual pedagang yang mangkal di depan rumah makan. Meskipun bukan bagian dari restoran, minuman cincau bisa disantap di meja rumah makan.
Bertahan dengan atmosfer tua dari sejak tahun 1960, Gado-gado Taman Sari memberi cerita tersendiri bagi pelanggannya. Iing sering kali menemui bahwa tamu-tamu anak muda yang berdatangan ke rumah makan tersebut ternyata adalah cucu dari pelanggan-pelanggan rumah makan ini.
Dalam sepiring gado-gado, mereka tak hanya memuaskan rasa lapar. Namun juga berbagi kenangan pada suasana Jakarta yang sejak era lampau menyerupai gado-gado yang sarat keragaman. Selamat ulang tahun, Jakarta!