Geliat Wisata di Negeri yang Indah
Ada banyak cara untuk menggeliatkan wisata daerah melalui promosi keunggulan dan citra pariwisata. Mesti diakui, pariwisata adalah sektor yang menjanjikan dalam meraup devisa dan menyerap tenaga kerja. Jangan lupa, Indonesia adalah negeri yang indah.
Berbagai upaya itu tak bisa dianggap enteng. Mulai dari upaya menjadikan Ubud, Bali, sebagai tujuan wisata gastronomi dunia, hingga menyuguhkan suasana pedalaman dan perbatasan lintas negara di Kalimantan.
Perihal gastronomi, dalam waktu dekat Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) akan datang ke Ubud, Kabupaten Gianyar. UNWTO akan menilai, memverifikasi, dan menganalisis kegiatan gastronomi di daerah itu.
Gastronomi Ubud akan dinilai sesuai standar dunia yang ditetapkan UNWTO. Bukan sembarang penilaian karena juga meliputi gaya hidup kuliner di kawasan itu. Contohnya, apakah kuliner di Ubud menggunakan produk lokal serta terkait budaya dan tradisi.
Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, wisata gastronomi penting untuk dikembangkan karena Indonesia belum memiliki makanan nasional. Indonesia punya banyak kuliner sehingga tidak bisa disebut sebagai makanan nasional.
Kondisi ini berbeda dengan Thailand yang punya tomyam, Jepang punya sushi, dan Malaysia punya nasi lemak.
Kementerian Pariwisata menetapkan lima makanan yang disebut sebagai makanan nasional Indonesia, yakni rendang, soto, sate, nasi goreng, dan gado-gado. Penentuannya berdasarkan sumber atau asal makanan.
Sementara, Badan Ekonomi Kreatif hanya menyebut soto semakin makanan nasional. Penentuannya juga berbeda, yakni berdasarkan pasar.
Bersama-sama
Selain mengembangkan wisata gastronomi, Indonesia juga mengembangkan pariwisata lintas negara. Salah satunya, mengembangkan wisata Pulau Kalimantan bersama Malaysia dan Brunei Darussalam dengan citra Heart of Borneo.
Tujuannya, mengembangkan pariwisata tiga negara dalam satu pulau.
Borneo memiliki luas 23 juta hektar. Dari luas itu, 16 juta hektar di antaranya masuk wilayah Kalimantan, 6 juta hektar wilayah Malaysia, dan sekitar 400.000 hektar milik Brunei Darussalam.
Di kawasan jantung Kalimantan itu, Indonesia memiliki beragam kekayaan alam. Salah satunya, Taman Nasional Tanjung Puting, yang merupakan kawasan hutan konservasi. Cagar alam yang ditetapkan Pemerintah Hinda Belanda pada 1937 itu terkenal dengan penelusuran Sungai Sekonyer.
Pada 2018, Taman Nasional Tanjung Puting dikunjungi hampir 30.000 orang. Jumlah itu dua kali lipat dari jumlah pengunjung pada 2014.
Sekitar dua pertiga dari jumlah itu adalah wisatawan mancanegara (wisman), sedangkan sepertiganya domestik.
Turis asing dikenal memiliki minat tinggi untuk datang ke daerah-daerah yang menyuguhkan wisata alam dan memiliki kondisi alami. Wisman itu antara lain berasal dari Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Selandia Baru.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata Rizki Handayani, mengemukakan, ikon suku Dayak dan hutan tropis harus dicitrakan sebagai keunikan wisata Kalimantan.
Kalimantan dinilai sebagai destinasi pariwisata yang strategis dalam meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara lintas perbatasan.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia Rudiana mengatakan, pemerintah perlu menggarap dan menyoroti wisata alam Kalimantan untuk mengoptimalkan program Heart of Borneo.
Menurut dia, Kalimantan berpotensi unjuk gigi di kancah internasional sebagai destinasi wisata alam, dengan mengoptimalkan kawasan hutan, sungai, dan desa adat.
Namun, pengembangan kawasan wisata alam itu mesti tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan dan konservasi.
Upaya keras ini tak lepas dari target pemerintah untuk mendatangkan 20 juta wisman pada tahun ini. Adapun perolehan devisa dari wisman ditargetkan 17,6 miliar dollar AS.
Bukan perkara gampang mendatangkan wisman ke Indonesia. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian global yang sedang tidak menentu.
Apalagi, setiap negara memiliki hasrat menarik turis sebanyak-banyaknya. Kedatangan wisatawan ini diharapkan memberi nilai tambah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Januari-April 2019 ada 5,12 juta kunjungan wisman ke Indonesia. Dari jumlah itu, nyaris setengahnya adalah wisatawan dari kawasan ASEAN, yakni 2,066 juta kunjungan.
Upaya meraih surplus devisa juga tidak gampang. Sebab, wisatawan Indonesia juga bepergian ke luar negeri.
Menurut data Bank Indonesia, pada 2018, sebanyak 13,138 juta pelawat datang ke Indonesia, sedangkan 9,756 juta pelawat bepergian ke luar negeri. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan 2017, yakni 12,199 juta pelawat datang ke dalam negeri dan 9,077 juta pelawat pergi ke luar negeri.
Persoalan lain, infrastruktur dasar bagi wisatawan mesti terjamin. Di Pulau Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, misalnya, kerap kali terdengar sorakan wisatawan yang menginap di sebuah resor, setiap kali listrik mati. Rupanya, hingga Maret lalu, resor itu masih menggunakan generator sebagai penopang listrik karena jaringan masih terbatas.
Bayangkan dana yang dikeluarkan pengelola resor untuk memenuhi kebutuhan listrik karena harus menyediakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan generator.
Padahal, Maratua adalah salah satu dari empat pulau di Berau yang dipromosikan sebagai tujuan wisata bahari. Tiga pulau lain adalah Derawan, Kakaban, dan Sangalaki.
Perlu menyediakan waktu untuk bepergian ke Maratua. Wisatawan dari Jakarta, misalnya, mesti terbang ke Balikpapan, lalu ke Tarakan, kemudian menempuh perjalanan lewat laut selama 3 jam ke Maratua. Namun, semua itu terbayar dengan pemandangan yang indah, laut yang jernih, pasir yang merayapi sela-sela jari kaki, dan suara gesekan nyiur melambai.
Ah, Indonesia, negeri yang indah.... (ERK/ARN/IDR)