Borneo Environment Film Festival kembali digelar di Kalimantan Tengah dengan mengangkat tema besar soal air. Melalui film, kampanye kepedulian soal air diharapkan semakin mengakar di masyarakat, terutama kalangan muda.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Borneo Environment Film Festival kembali digelar di Kalimantan Tengah dengan mengangkat tema besar soal air. Melalui film, kampanye kepedulian soal air diharapkan semakin mengakar di masyarakat, terutama kalangan muda.
Borneo Environment Film Festival (BEFF) 2019 merupakan kegiatan kedua yang dibuat untuk menampung film-film pendek dokumenter maupun fiksi terkait isu lingkungan. Festival diikuti para peserta di sejumlah daerah di Indonesia.
Presiden BEFF Dwi Wahyu Nugroho mengatakan, kegiatan ini merupakan pergelaran film kedua. Di tahun pertama, mereka mengambil tema manusia dan alam.
”Beberapa film yang dibuat tahun lalu sudah berdampak, seperti di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, ada satu lokasi yang saat pembuatan film dipenuhi sampah saat ini menjadi salah satu lokasi wisata,” kata Dwi, di Palangkaraya, Minggu (23/6/2019).
Dwi percaya melalui film, perubahan untuk lingkungan yang lebih baik bisa dicapai. BEFF 2019 ini tidak sekadar ajang kompetisi film, tetapi diharapkan tumbuh menjadi sebuah komunitas dan basis gerakan peduli lingkungan.
BEFF 2019 juga membuka peluang untuk sukarelawan yang mau bergabung dan beraksi pada pelestarian lingkungan. Aksi yang sudah dilakukan adalah mengurangi penggunaan plastik dalam aktivitas dan memungut sampah.
”Kami bahkan membuat aturan yang harus diikuti semua peserta dan sukarelawan, salah satunya adalah larangan membuang sampah sembarangan, kalau dilanggar, ya, dikeluarkan,” kata Dwi.
Dalam BEFF 2019, terdapat empat kategori film yang akan dilombakan, yakni film pendek terbaik, film dokumenter pendek terbaik, film dokumenter panjang terbaik, dan video promosi Kalimantan terbaik. Film-film yang masuk akan dikurasi sebelum ikut berkompetisi lalu penjurian.
Kami bahkan membuat aturan yang harus diikuti semua peserta dan sukarelawan, salah satunya adalah larangan membuang sampah sembarangan, kalau dilanggar, ya, dikeluarkan.
Pada Sabtu (22/6/2019) malam di Kedai Filantropi, Kota Palangkaraya, BEFF membuat pemutaran beberapa film yang sudah dikurasi dan menjadi peserta kompetisi film 2019. Salah satunya dari Komunitas Himba Indonesia yang membuat film Menolak Diam untuk Hutan.
Film tersebut bercerita tentang masyarakat adat di Banama Tingan, khususnya Desa Tambak, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Di tempat tersebut, kebun dan hutan kelola adat masyarakat beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Dalam film dokumenter itu, terlihat bagaimana warga yang menolak diintimidasi oleh orang-orang yang tidak mereka kenal. Film itu juga menggambarkan tingginya kebutuhan masyarakat adat terhadap hutan dengan menggelar berbagai ritual adat di hutan.
Dalam film tersebut, ditunjukkan bagaimana masyarakat mengelola hutannya dengan skema hutan kemasyarakatan pada perhutanan sosial. Dengan skema itu, karena memiliki status hukum yang jelas, masyarakat lebih aman mengelola hutan tanpa khawatir dialihfungsikan.
Ditunjukkan bagaimana masyarakat mengelola hutannya dengan skema hutan kemasyarakatan pada perhutanan sosial.
Salah satu inisiator Himba Indonesia, Usy Marie, mengungkapkan, film memiliki kekuatan tersendiri untuk menyampaikan pesan dan sikap si pembuat film. Film Menolak Diam untuk Hutan dibuat tahun 2018 dengan tujuan mengajak masyarakat menjaga hutannya.
”Kami mau mendorong setiap desa mau menjaga hutan, salah satunya dengan skema hutan kemasyarakatan, makanya kami menunjukkan bagaimana pengelolaan hutan itu melalui film,” kata Usi.