Mandiri Tanpa Si Mbak
Bersiasat dengan kerasnya hidup di Jakarta, para orangtua muda memilih memupuk kemandirian tanpa bantuan ART alias asisten rumah tangga. Ada yang pernah belasan kali berganti asisten hingga kapok lalu memilih sama sekali tanpa si mbak. Tiada ART, ada pula keluarga yang lantas menitipkan pengasuhan anak di ”daycare”.
Hari menjelang siang di Rootsdaycare di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebanyak 28 anak dari usia tiga bulan hingga enam tahun yang didampingi 14 pengasuh yang disapa Tante baru saja selesai melahap sepiring nasi dengan lauk kuah kaldu daging dan bola-bola nugget ikan buatan rumahan. Bayi-bayi berganti baju dan anak-anak balita bermain di lantai kayu sebelum mulai tidur siang.
Jelang tidur siang itulah pasangan muda Deavy Anggita (29) dan Rizki Yusuf (32) memarkir kendaraannya di garasi depan sebelum melangkah masuk dengan menggunakan akses pengenal sidik jari. Rehat sejenak dari pekerjaan, Deavy menyusui putrinya, Lei Khalifa Humaira (Leikha), yang baru berusia 21 bulan.
Seusai menyusu, Leikha tampak ceria berlompatan dan mengajak ayah ibunya bermain. Pilihan pengasuhan jatuh ke daycare karena pasangan ini tak percaya kepada baby sitter. Dari hasil riset Deavy, hanya tiga dari 10 keluarga yang puas dengan pengasuhan ala baby sitter.
Penitipan anak menjadi pilihan bagi pengasuhan Leikha karena ada target program pembelajaran dalam aktivitas harian. Leikha dititipkan dari pukul 08.00 hingga 17.00 di Rootsdaycare sejak 15 bulan terakhir. ”Enggak langsung memutuskan ke daycare, diskusi lumayan panjang, apalagi kakek neneknya ikut mempertanyakan,” kata Rizki, Kamis (20/6).
Deavy yang bekerja di PLTU, sedangkan Rizki memiliki bisnis production house ini memilih hidup sama sekali tanpa ART. Pilihan ini menjadi realistis karena mereka tinggal di apartemen yang mudah untuk dibersihkan. Mereka berdua saling bahu-membahu berbagi tugas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga.
”Pegang anak berdua. Anaknya attach ke kita berdua. Enggak berat sebelah. Sejauh ini dibanding anak seumur dia, Leikha termasuk lebih cepat tumbuh kembangnya. Sosialnya juga lebih bagus,” ujar Deavy.
Ganti 12 kali
Setelah 12 kali ganti ART selama delapan tahun, orangtua seperti Mariyanti (42) memilih mandiri tanpa si mbak. Sebelumnya, ia selalu dibantu dua ART yang seorang untuk membersihkan rumah dan lainnya mengasuh dua anaknya. Keputusan mandiri tanpa ART menjadi lebih mudah karena putranya, Rafa (10) dan Nico (8), mulai beranjak remaja.
Dari deretan ART di rumah Mariyanti, ada yang hanya betah satu bulan dan paling lama tiga tahun. Si mbak yang sudah tiga tahun bekerja tersebut bahkan sempat dibiayai kuliah jenjang D-3, diberi uang saku, tetapi tidak boleh pacaran. ”Begitu ketahuan pacaran lalu milih keluar. Paling sering mereka kayak enggak betah sama aku karena aku dianggap galak,” ujar Mariyanti.
Dua tahun terakhir, Mariyanti akhirnya tidak lagi menggunakan jasa ART. Apalagi, adiknya yang tinggal di satu kompleks perumahan yang sama di Bintaro, Tangerang Selatan, memilih keluar pekerjaan demi program kehamilan. Dari awalnya dititipkan ke tantenya, anak-anak kemudian memilih tinggal di rumah 2-3 jam sepulang sekolah sembari menunggu orangtuanya pulang.
Tanpa si mbak, Mariyanti bekerja sama dengan suami untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Tumpukan pakaian diserahkan pada jasa binatu. Cuci piring dilakukan bergantian dengan suami. Anak-anak pun belajar mandiri turut membersihkan rumah. ”Enggak ada perubahan yang terlalu njomplang. Awalnya ketika enggak punya ART jadi sering marah-marah karena sudah capek kerja,” tambahnya.
Saadah (38), seorang ART yang secara sambilan juga kerap mencarikan tenaga ART untuk ibu-ibu di Jakarta, bercerita, saat ini mencari ART makin susah-susah gampang. Faktor gaya hidup, menurut dia, membikin kualifikasi ART tidak lagi seperti dulu. Kehidupan di kampung atau daerah yang kian konsumtif membikin ART masa kini cenderung tidak lagi berpikir panjang demi masa depan. Namun, bekerja dimaknai sebatas memenuhi kebutuhan konsumsi jangka pendek. Mulai dari sekadar untuk beli ponsel baru, pulsa ponsel, baju, make up, hingga aneka barang konsumsi lain.
Oleh karena itu, ia tidak heran kalau ada ART sekalipun mau disekolahkan oleh majikannya, tetapi tetap tidak tertarik dan tidak balik setelah mudik Lebaran. ”Susah cari (ART) yang benar-benar mau kerja untuk masa depan, yang kerja untuk nabung demi masa depan. Jadi, begitulah masa kerjanya pada pendek-pendek, sebatas sampai Lebaran,” ujar Saadah.
Psikolog dan Direktur Discovery Zone Therapy Centre Rosdiana Setyaningrum, Mpsi, MHPEd juga memilih mandiri tanpa ART ketika anak-anaknya mulai duduk di bangku kelas IV SD dan I SMP. Sudah lima tahun sama sekali tidak pakai ART di rumah, Diana tak merasakan perubahan drastis karena anak-anaknya telah terbiasa mandiri, bahkan ketika masih didampingi ART.
”Menurut saya, meski ada mbak, anak harus mandiri. Makan harus sendiri. Membersihkan apa-apa harus sendiri. Jadi ketika mbak enggak ada, isunya itu hanya siapa yang nemenin. Bukan siapa yang ngeladenin anak. Apa pun yang namanya ’terlalu’ pasti enggak sehat. Terlalu mandiri atau terlalu bergantung,” kata Diana.
Orangtua yang terlalu mandiri dan merasa sama sekali tak butuh bantuan biasanya akan berujung pada kelelahan. Akibat kelelahan itu, orangtua mudah emosi dan berdampak negatif pada pengasuhan anak. ”Malah enggak ngajarin anaknya mandiri. Dianya sendiri capek lalu marah-marah,” tambahnya.
Biasa berbagi
Sebagai psikolog, Diana pernah melakukan penelitian tentang perbandingan tumbuh kembang anak yang akhirnya dititipkan ke daycare dan mereka yang diasuh oleh ART di rumah. Anak-anak usia balita yang dititip di daycare yang baik ternyata cenderung lebih mandiri. Daycare seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat penitipan, tetapi juga memainkan peran dalam pemberian stimulasi tumbuh kembang anak.
Daycare yang bagus akan memberikan pembelajaran lewat aneka permainan. Sering makan bersama, anak-anak akan mendapat asupan makanan yang lebih sehat. Anak-anak juga jadi biasa berbagi. Keseharian mereka tak lantas diisi dengan menonton televisi atau bermain telepon seluler.
Pemilik Rootsdaycare, Sinung Hartati, yang juga berprofesi sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah inklusi di Tangerang sengaja menghadirkan Rootsdaycare agar bisa berkontribusi pada pengasuhan anak dari sejak dini. ”Menapak dari pendidikan paling mendasar. Usia 0-4 tahun: masa krusial. Memaklumi ibu yang kerja, bagaimana cara supaya bisa menyiapkan infrastruktur agar tumbuh kembang mereka optimal,” kata Sinung.
Rootsdaycare berupaya merancang ekosistem sesuai kebutuhan anak. Perkembangan anak dicatat dalam rapor bulanan yang diperiksa psikolog yang berisi pengamatan tumbuh kembang anak dari hari ke hari. ”Supaya rapor tidak merah ada program. Ini yang membedakan dengan pengasuhan ART,” tambah Sinung.
Program pembelajaran ini penting karena orangtua yang berasal dari bermacam tempat tinggal, seperti Depok, Bintaro, hingga Bekasi, ini menitipkan anaknya dari mereka masih tidur di pagi hari hingga dijemput dalam keadaan tidur pada malam hari. Orangtua memilih menitipkan anak-anaknya di daycare yang mendekati kantor agar mudah ditengok.
Kemandirian tanpa si mbak entah itu dengan memanfaatkan daycare atau cara lain perlu dirintis karena sumber daya ART yang lama-kelamaan akan semakin berkurang. Seiring semakin majunya negara, jumlah ART akan semakin berkurang. Pekerjaan sebagai pengasuh atau asisten di rumah tak lagi dilirik karena pendidikan yang semakin baik.
”Harus lebih siap seperti negara maju lain yang enggak punya ART,” kata Diana. Jadi, siapkah Anda mandiri? (SF)