Penurunan PPh Badan Belum Tentu Tingkatkan Investasi
›
Penurunan PPh Badan Belum...
Iklan
Penurunan PPh Badan Belum Tentu Tingkatkan Investasi
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan atau PPh badan tidak serta-merta meningkatkan daya tarik investasi dalam negeri. Penurunan PPh badan tetap harus dibarengi keberlanjutan reformasi perpajakan yang terkait administrasi dan transparansi.
Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, PPh badan Indonesia, yang saat ini 25 persen, masih dalam level moderat dibandingkan beberapa negara tetangga. PPh badan di India, Filipina, dan Jepang sebesar 30 persen, sementara Amerika Serikat sebesar 27 persen.
Saat ini, PPh badan Indonesia setara dengan China, Korea, dan Myanmar. Namun, lebih tinggi daripada Hong Kong (16,5 persen), Singapura (17 persen), dan Swiss (18 persen).
Indonesia berencana menurunkan PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen untuk meningkatkan daya tarik investasi asing langsung.
”Namun, PPh badan yang rendah belum tentu menarik investasi asing langsung masuk dengan cepat ke Indonesia,” kata Tauhid di Jakarta, Minggu (23/6/2019).
Menurut Tauhid, penurunan PPh badan belum tentu efektif menarik minat investasi karena beberapa masalah perpajakan paling mendasar di Indonesia belum teratasi, seperti prosedur administrasi, transparansi data, dan konsistensi peraturan. Sistem pemungutan pajak juga dinilai belum ramah pengguna sehingga tingkat kepatuhan wajib pajak rendah.
Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 190 negara dalam urusan pembayaran pajak. Peringkat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Korea kendati besaran PPh badan sama. Korea menempati peringkat ke-24 dalam urusan perpajakan.
Indonesia menempati peringkat ke-112 dari 190 negara dalam urusan pembayaran pajak. Peringkat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Korea kendati besaran PPh badan sama.
Tauhid mengatakan, penurunan PPh badan menimbulkan konsekuensi fiskal yang mesti diantisipasi pemerintah. Dari hitungan Indef, potensi kehilangan penerimaan pajak mencapai Rp 53,16 triliun. Adapun penerimaan pajak yang bersumber dari PPh badan pada 2019 diperkirakan sekitar Rp 212 triliun.
”Potensi kehilangan itu mesti dikompensasi dari jenis pajak lain agar defisit tidak melebar,” kata Tauhid.
Ditemui secara terpisah, Kepala Penelitian Makroekonomi dan Finansial Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, transformasi struktural, terutama di sektor perpajakan, menjadi kunci penting untuk menarik investasi langsung. Kendati pemerintah telah banyak melakukan reformasi, dampaknya belum optimal.
Reformasi perpajakan penting dalam rangka menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam batas aman setidaknya 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). Insentif fiskal, termasuk penurunan PPh badan, bukan satu-satunya instrumen untuk mendorong investasi. Hal itu mesti ditunjang dengan perbaikan iklim investasi dan indikator kemudahan berusaha yang lain.
Masih dikaji
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, akhir pekan lalu, mengatakan, pemerintah masih mengkaji dampak penurunan PPh badan menjadi 20 persen. Kajian itu mencakup simulasi kondisi penerimaan pajak dalam beberapa tahun ke depan. Sejauh ini belum ada kepastian waktu PPh badan bisa turun.
”Kami masih mengkaji lebih lanjut dampak penurunan PPh badan terhadap penerimaan negara dan kinerja APBN secara keseluruhan,” kata Suahasil.
Penurunan PPh badan, kata Suahasil, harus melalui revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2018 tentang perubahan keempat atas UU No 7/1983 tentang PPh. Rancangan revisi UU sedang disiapkan pemerintah dan bakal diprioritaskan dalam pembahasan bersama DPR.