Memasuki musim kemarau, sebagian petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kesulitan air. Agar tetap bisa mengairi lahan pertanian, mereka pun terpaksa merekrut tenaga khusus yang membantu mengalirkan air ke lahan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Memasuki musim kemarau, sebagian petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, kesulitan air. Agar tetap bisa mengairi lahan pertanian, mereka pun terpaksa merekrut tenaga khusus untuk membantu mengalirkan air ke lahan.
Rozi (48), salah seorang petani di Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, mengatakan, agar dapat mengairi lahan pertaniannya, pada musim kemarau tahun ini ia mempekerjakan empat orang. ”Setiap satu hektar lahan, saya harus mengeluarkan biaya untuk membayar empat tenaga, sekitar Rp 500.000 per hari,” ujarnya, Minggu (23/6/2019). Rozi saat ini menyewa 10 hektar lahan, dan sekitar separuhnya kini ditanami tembakau.
Sebagian besar sawah di Desa Deyangan, termasuk lahan sawah yang disewa Rozi, adalah sawah tadah hujan. Setiap musim kemarau, petani harus mengalirkan air dari sumber air yang berjarak sekitar 2 kilometer dari lahan.
Upaya mengalirkan air membutuhkan tenaga banyak dan sering kali menghabiskan waktu satu hari penuh. Petani pun tidak leluasa mengalirkan air karena upaya mengambil air dari sumber air pun kini diatur dengan sistem bergilir. Kadang aliran air diserobot oleh petani lain di tengah jalan.
Tembakau
Setiap musim kemarau, Rozi mengatakan, dirinya memilih menanam tembakau karena hanya membutuhkan sedikit air. Tanaman tembakau hanya cukup diairi satu kali pada awal tanam, sedangkan tanaman jagung atau padi, misalnya, harus rutin dialiri air setidaknya seminggu sekali.
Hal serupa diungkapkan oleh Komar (51), petani di Kelurahan Sawitan, Kecamatan Mungkid. Pada musim kemarau seperti sekarang, untuk 1,4 hektar lahan tembakau miliknya, dia harus mempekerjakan tenaga khusus guna membantu mengalirkan air dari sumber air ke lahan.
”Tiap 1.000 meter persegi lahan, saya harus membayar tenaga mereka Rp 60.000-Rp 70.000 per orang,” ujarnya. Tiap satu hektar lahan, dia biasa merekrut tiga hingga empat tenaga.
Samardi (60), petani penggarap di Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, mengatakan, kesulitan air rutin terjadi di setiap musim kemarau. Khusus di wilayah Kecamatan Borobudur, persoalan makin tidak mudah karena tanah di wilayah tersebut cenderung sangat kering.
”Jika di daerah lain lahan tembakau cukup teraliri air sebanyak satu hingga dua kali saja, di wilayah sini (Borobudur) kami harus mengairi lahan setidaknya empat kali, terhitung sejak awal tanam hingga panen,” ujarnya.
Sebelum tanam, menurut dia, sekitar 1.000 hektar lahan yang digarapnya harus dibiarkan terendam air selama satu hari. Setelah tanah lembab, barulah bisa ditanami tembakau.
Sebagian besar lahan di Kecamatan Borobudur, termasuk yang digarap oleh Samardi, dialiri air dari sungai-sungai kecil yang ada di sekitar lahan. Air dari sungai tersebut harus disedot dengan menggunakan mesin diesel untuk dialirkan ke lahan pertanian.