Hong Kong Tak Pernah Sama Lagi
Hampir dua pekan, Hong Kong diguncang unjuk rasa besar menentang Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Kasus ini menyadarkan warga Hong Kong betapa kuatnya China menancapkan pengaruh yang bakal makin sulit dihadapi.
”Dan ini bukan kasus yang terisolasi. Kekaisaran Beijing menjangkau sangat jauh, dari Taiwan dan Xinjiang hingga Laut China Selatan dan sekitarnya. Saat semua ini berakhir, kota kami tidak akan pernah sama lagi.”
Petikan buah pikir reflektif itu ditulis Joshua Wong, pemimpin demonstrasi Gerakan Payung tahun 2014 di Hong Kong, tentang unjuk rasa warga Hong Kong menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi di Hong Kong. Petikan itu diambil dari esai bertajuk ”Apakah Makna Kebebasan Itu” yang ditulis Wong dari dalam penjara. Esai itu dimuat majalah Time edisi 24 Juni 2019.
Pekan lalu, Senin (17/6/2019), Wong (22) bebas dari hukuman dua bulan penjara dalam kasus penghinaan pengadilan terkait keterlibatannya dalam unjuk rasa lima tahun lalu. Ia menjalani separuh masa hukuman. Keluar dari penjara, ia langsung bergabung dengan ratusan ribu warga yang berunjuk rasa.
Hari itu, hampir seluruh pengunjuk rasa telah pulang, kecuali segelintir saja yang masih bertahan. Akhir pekan kedua Juni, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengumumkan penundaan RUU Ekstradisi tanpa batas waktu. Meski demikian, krisis yang memicu ratusan ribu hingga— menurut koordinator aksi—dua jutaan orang turun ke jalan untuk menentang RUU itu masih jauh dari selesai.
Kini, tekanan warga beralih kepada Lam. Warga Hong Kong menuntut perempuan berusia 62 tahun itu mundur. ”Batalkan RUU Ekstradisi. Carrie Lam harus mundur. Hilangkan semua penganiayaan politik,” kata Wong. Ia menegaskan, Lam yang lebih pro-Beijing itu tidak layak lagi jadi pemimpin Hong Kong.
Awal tahun ini, Lam mengumumkan rencana perubahan undang-undang soal ekstradisi yang akan menyebabkan seorang tersangka dapat diekstradisi ke Taiwan, Makau, atau China daratan. Sesuai undang- undang yang berlaku saat ini, ekstradisi hanya dimungkinkan berdasarkan keputusan pengadilan atas kasus per kasus.
Situasi akhir-akhir ini membuat warga Hong Kong khawatir. Mereka melihat Beijing yang dikuasai Partai Komunis China akan memiliki pengaruh lebih besar yang akan mengganggu kebebasan sipil, seperti pengadilan independen dan kebebasan berbicara, sebuah hak istimewa yang tidak bisa dinikmati di daratan China.
Pejabat di Beijing di sisi lain mendukung RUU Ekstradisi yang tidak populer itu. Posisi Lam terjebak di tengah. Beberapa analis memperkirakan, Lam akan turun mengambil tanggung jawab atas kekacauan saat ini. Dia telah meminta maaf dan mengakui seharusnya bisa melakukan yang lebih baik.
Namun, dia juga bersikeras ingin menyelesaikan masa jabatan lima tahunnya. Sebab, mundur secara mendadak bagi seorang birokrat karier yang dekat dengan Beijing akan menyebabkan kepemimpinan di China kehilangan muka.
Selalu mudah untuk meramalkan malapetaka Hong Kong, demikian ditulis harian The Washington Post. Tradisi liberal dan semi-demokratis serta kebebasan sipil di Hong Kong, seperti kebebasan berbicara, akan berkurang dan layu di bawah penguasaan Beijing. Demikian juga keunggulan ekonomi pelabuhan yang terkenal di jantung perdagangan global, bakal dikalahkan oleh kota-kota yang berkembang pesat di daratan China.
Dalam kacamata Presiden China Xi Jinping, Hong Kong tengah berhadapan dengan tuannya. Para ahli menyarankan Xi, yang telah mengokohkan reputasinya sebagai salah satu pemimpin China yang keras, memiliki sedikit insentif untuk mengindahkan protes warga Hong Kong.
”(Xi) akan melakukan apa saja untuk memaksakan kedaulatan Beijing dan mendongakkan kepala terhadap upaya Barat guna mengganggu Hong Kong atau Taiwan,” kata Willy Lam, ilmuwan politik di Hong Kong, kepada Sydney Morning Herald. ”Dia adalah lawan tangguh dari tatanan Barat.”
China berjanji, ketika mengambil alih Hong Kong dari Inggris, mereka akan mempertahankan kebebasan sipil dan sistem hukum independen selama 50 tahun. Status khusus itu telah dikompromikan dalam sejumlah kasus.
Penuntutan terhadap aktivis, penahanan tanpa pengadilan terhadap lima penerbit buku Hong Kong, dan penyitaan ilegal di Hong Kong oleh agen-agen dari pengusaha China daratan adalah beberapa langkah yang membuat banyak orang Hong Kong khawatir.
Kekhawatiran di Taiwan
Kekhawatiran pun menyebar ke Taiwan. Gambar-gambar polisi antihuru-hara yang melawan pengunjuk rasa di Hong Kong selama hampir dua pekan bergema di Taiwan.
Warga Taiwan didera kekhawatiran akan mengalami hal yang sama jika Beijing memaksakan jalannya sendiri. Taiwan telah memerintah sendiri serta bertanggung jawab atas urusan dan perbatasannya sendiri selama 70 tahun terakhir.
Para pemimpin di Beijing bersikeras, Taiwan adalah bagian dari wilayah mereka dan tidak pernah berhenti melontarkan ancaman untuk merebut kembali wilayah itu, termasuk dengan kekerasan jika perlu.
Dalam upaya membujuk 23 juta penduduk Taiwan mempertimbangkan kembali ke daratan, Pemerintah China telah menggembar-gemborkan kerangka yang dibuatnya dengan Inggris terkait Hong Kong.
Dengan formula ”satu negara, dua sistem”, Taiwan yang demokratis diharapkan bergabung dengan daratan China yang otoriter sambil tetap mempertahankan beberapa hak istimewa yang belum ditentukan.
Namun, menurunnya kebebasan selama beberapa tahun terakhir di Hong Kong telah merusak janji-janji itu. Makin banyak anak muda Taiwan mengadopsi pandangan yang semakin bermusuhan terhadap daratan China.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berulang kali menyebut bentrokan di Hong Kong pada unjuk rasa menentang RUU Ekstradisi sebagai seruan untuk membangunkan kesadaran warganya. Ia menyebut pemilu mendatang sebagai ”perjuangan untuk kebebasan dan demokrasi”.
Ditegaskannya pula, formula ”satu negara dua sistem” tak pernah dapat diterima di Taiwan yang demokratis. ”Protes di Hong Kong membuat orang Taiwan lebih menghargai sistem demokrasi dan cara hidup kami,” kata Tsai.
Hong Kong, Taiwan, dan juga Makau kini menunggu langkah Beijing. Beijing sejauh ini hanya menyatakan mendukung RUU Ekstradisi dan mendukung penuh Lam. Para analis mengatakan, Pemerintah China tidak akan tinggal diam. Ibarat permainan catur, bidak-bidak terus digerakkan dalam permainan adu kuat dan sabar.
Para pengunjuk rasa pada akhirnya akan (dibuat) bosan dengan perjuangan mereka menuntut demokrasi yang lebih besar di Hong Kong. Hong Kong, dan mungkin saja Taiwan, tak akan sama lagi dengan waktu-waktu sebelumnya.