Jangan Terlena dengan Surplus Neraca Perdagangan Mei 2019
›
Jangan Terlena dengan Surplus ...
Iklan
Jangan Terlena dengan Surplus Neraca Perdagangan Mei 2019
Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 surplus sebesar 207,6 juta dollar AS secara bulanan. Kendati begitu, neraca perdagangan pada Januari-Mei 2019 masih defisit sebesar 2,14 miliar dollar AS.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 surplus sebesar 207,6 juta dollar AS secara bulanan. Kendati begitu, neraca perdagangan pada Januari-Mei 2019 masih defisit sebesar 2,14 miliar dollar AS.
Surplus neraca perdagangan pada Mei 2019 ini menjadi sinyal positif, sehingga perlu dijaga keberlanjutannya. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait tidak boleh terlena dan tetap perlu mendongkrak defisit neraca perdagangan tahun ini agar tidak semakin melebar.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, surplus neraca perdagangan pada Mei 2019 terjadi karena nilai neraca perdagangan nonmigas lebih tinggi daripada migas. Neraca perdagangan migas defisit sebesar 977,8 juta dollar AS, sedangkan nonmigas surplus 1,185 miliar dollar AS.
”Kenaikan ekspor membuat neraca nonmigas pada Mei 2019 surplus sehingga mampu menutup defisit migas. Hal ini memang belum bersifat berkelanjutan, tetapi menunjukkan perkembangan yang baik,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution saat ditemui di Jakarta, Senin (24/6/2019).
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta mengatakan, kinerja ekspor dan impor Indonesia pada Mei 2019 menunjukkan sinyal positif. Sebab, neraca perdagangan Mei 2019 dapat mencatatkan surplus di tengah ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang dan fluktuasi harga komoditas.
Kinerja ekspor dan impor Indonesia pada Mei 2019 menunjukkan sinyal positif sebab dapat mencatatkan surplus di tengah ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang dan fluktuasi harga komoditas.
Meskipun menunjukkan sinyal positif, kinerja neraca perdagangan pada Januari-Mei 2019 masih belum ideal. Hal itu terjadi karena ekspor dan impor pada Januari-Mei 2019 sama-sama turun.
”Idealnya, ekspor meningkat dan impor turun. Untuk itu, agar neraca perdagangan dapat surplus sepanjang 2019, kinerja ekspor mesti didongkrak. Diversifikasi produk dan pasar yang ditopang dengan insentif perlu dilakukan,” lanjutnya.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan pada Januari-Mei 2019 defisit sebesar 2,14 miliar dollar AS. Dalam periode itu, nilai ekspor turun 8,61 persen dan impor turun 9,23 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Industri penopang
Dari sisi aktivitas perdagangan, total nilai ekspor sebesar 14,74 miliar dollar AS dan impor 14,53 miliar dollar AS pada Mei 2019. Secara bulanan, ekspor Indonesia naik 12,42 persen dan impor turun 5,62 persen.
Kenaikan ekspor tersebut pada Mei 2019 itu ditopang oleh industri pengolahan yang tumbuh 12,4 persen. Pertumbuhan industri pengolahan batubara, kayu, pakaian jadi, dan industri makanan-minuman tergolong signifikan.
Berdasarkan negara tujuan, ekspor ke AS naik 179,2 juta dollar AS dan ke China meningkat 151,1 juta dollar AS. Ekspor ke kedua negara ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan yang lain.
”Ekspor tertinggi ke AS berupa pakaian jadi, pakaian rajutan, ikan, dan udang. Adapun ekspor ke China salah satunya ditopang tembaga,” kata Suhariyanto.
Kendati begitu, BPS mencermati kinerja ekspor dan impor industri pengolahan secara tahun berjalan, Januari-Mei 2019, yang mengalami penurunan. Ekspor dari sektor industri pengolahan pada Januari-Mei 2019 turun 6,27 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan ekspor sektor industri pengolahan itu dibarengi dengan turunnya impor bahan baku/penolong dan modal pada Januari-Mei 2019 masing-masing sebesar 9,39 persen dan 7,41 persen.
”Meskipun demikian, kinerja industri masih menggeliat. Sektor industri masih bertumbuh kira-kira 4-5 persen pada triwulan-II 2019,” katanya.
Ambil peluang
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk mendongkrak ekspor adalah melalui perjanjian perdagangan bebas (FTA). Pemerintah Indonesia mesti membuat FTA dengan negara-negara berkembang karena pemberlakuan hambatan nontarifnya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara maju.
Pemerintah juga perlu mendorong kinerja perdagangan di tiap-tiap negara yang memiliki perwakilan perdagangan dengan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Mereka juga harus menjadi analis pasar yang bertugas mengidentifikasi kebutuhan produk, selera konsumen, hambatan perdagangan, dan jaringan distribusi di negara tujuan.
”Perlu ditegaskan pula, perlu ada kontrak target peningkatan ekspor secara kuantitatif antara presiden dan perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri,” kata Heri.
Perlu ada kontrak target peningkatan ekspor secara kuantitatif antara presiden dan perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri.
Selain itu, ia menambahkan, pemerintah perlu mengambil peluang dalam perang dagang secara taktis. Contohnya, ketika China menurunkan impor minyak kedelai dari AS, Indonesia sebaiknya menawarkan minyak kelapa sawit kepada China sebagai substitusinya.