Presiden China Xi Jinping telah meninggalkan Pyongyang saat catatan ini diturunkan. Namun, pertemuan Xi dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, pekan lalu, masih menyisakan diskusi tentang misteri hubungan China-Korea Utara dan konflik mereka masing-masing dengan Amerika Serikat (AS).
Lawatan kenegaraan Xi, Kamis-Jumat (20-21/6/2016) lalu, merupakan yang pertama dilakukan pemimpin China dalam 14 tahun setelah Hu Jintao pada 2005. Periode satu dekade lebih itu diwarnai saling curiga, kadang-kadang disertai pernyataan kebencian secara terbuka antara Beijing-Pyongyang.
Selama lima tahun pertama berkuasa sejak 14 Maret 2013, Xi tidak pernah bertemu Kim. Beijing rutin mengecam uji coba nuklir Korea Utara dan—bersama AS—mendorong Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksinya. Bahkan, seperti dilaporkan The Guardian, Xi dan Presiden AS Donald Trump pada September 2017 bersepakat memaksimalkan tekanan global kepada Pyongyang.
Pyongyang pun balik mengancam Beijing. Perlawanan itu diperlihatkan Kim dengan memilih malam Tahun Baru China 2016 untuk meluncurkan satelit. Beberapa jam sebelum Xi berpidato di KTT BRICS di Xianmen, 3 September 2017, rezim Kim meledakkan bom hidrogen di Punggye-ri.
Intonasi kecaman Beijing pada Pyongyang menurun setelah Trump terlibat perang kata-kata dengan Kim, termasuk ancaman militer AS. Juga setelah Trump pada 22 Maret 2018 memerintahkan penyelidikan soal penerapan tarif barang-barang China senilai 50-60 miliar dollar AS yang menjadi awal dari perang dagang.
Memasuki tahun keenam kepemimpinan Xi, awal periode yang bisa menjadikan Xi sebagai presiden seumur hidup, Kim mengunjungi Beijing pada 25 Maret 2018 selama tiga hari. Itu untuk pertama kalinya Kim keluar negeri sejak menjadi pemimpin pada Desember 2011, dan menjadi awal kampanye diplomatiknya bersama Xi.
Begitu pentingnya hubungan China-Korea Utara, dalam 15 bulan Xi-Kim telah lima kali bertemu, termasuk terakhir di Pyongyang. Xi tampaknya ingin memastikan, Korea Utara tetap berada di orbit politik China dan tidak menyimpang terlalu dekat dengan AS atau Korea Selatan.
Rangkaitan pertemuan Xi-Kim dimaknai positif sebagai kemajuan nyata diplomasi yang lahir dari pasang-surut hubungan China-Korea Utara dan konflik mereka dengan AS. Dalam pertemuan di Pyongyang, Xi-Kim berjanji untuk bekerja sama demi terwujudnya "perdamaian dan stabilitas" di Semenanjung Korea (CNN, 20/6/2019) dan memperkuat hubungan bilateral (Kompas.id, 21/6/2019).
Xi melawat ke Pyongyang dan bertemu Kim pada saat hubungan China-Korea Utara belum "sedekat gigi dan bibir", seperti dilukiskan Mao Zedong dahulu. Mungkin karena itu, sebelum ke Pongyang, Xi menulis opininya di surat khabar Korea Utara, Rodong Sinmun, Rabu (19/6/2019). Xi berharap menggunakan lawatannya "untuk mengukir babak baru persahabatan tradisional" dengan Korea Utara.
Xi tampaknya ingin memastikan, Korea Utara tetap berada di orbit politik China dan tidak menyimpang terlalu dekat dengan AS atau Korea Selatan.
Xi juga menegaskan, hubungan antara China-Korea Utara adalah "pilihan strategis yang dibuat kedua belah pihak dan tak akan terganggu, tidak peduli sekalipun situasi internasional berubah."
Lawatan Xi juga terjadi saat Korea Utara masih dalam tekanan sanksi AS karena program nuklirnya yang berbahaya, serta masih tergantung pada pasokan China. Sementara China sedang terlibat perang dagang dengan AS.
Perjalanan Xi ke Pyongyang diyakini menandakan sejumlah gerakan dalam negosiasi nuklir yang macet antara AS-Korea Utara sejak pertemuan Trump-Kim di Hanoi, akhir Februari 2019. Korea Utara mungkin juga tak akan mengubah tuntutan yang paling diperjuangkannya yakni keringanan sanksi AS. Semakin berlarut kebuntuan negosiasi AS-Korea Utara, situasi ini menguntungkan China.
Sepertinya Xi ingin menunjukkan kepada dunia, terutama AS, bahwa semua jalan kembali ke Korea Utara masih harus melewati dirinya, termasuk negosiasi denuklirisasi di Semenanjung Korea. Kepentingan China tidak dapat diabaikan dalam negosiasi di masa-masa yang akan datang.