JAKARTA, KOMPAS — Rupiah mempunyai potensi untuk menguat sepanjang pekan ini seiring bangkitnya optimisme pasar terkait dengan kebijakan ekonomi makro yang dapat meningkatkan likuiditas dalam negeri. Keyakinan akan penguatan rupiah itu dipicu oleh derasnya arus aliran modal yang masuk ke Indonesia.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Senin (24/6/2019), rupiah berada di level Rp 14.165 per dollar AS, melemah 49 poin atau 0,34 persen dari akhir pekan kemarin di posisi 14.116 per dollar AS.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim memprediksi rupiah akan melanjutkan penguatan dari sesi perdagangan seiring dengan datangnya sentimen kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI) dalam meningkatkan likuiditas.
Kamis pekan lalu, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen dan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin, menjadi 6 persen untuk bank konvensional dan 4,5 persen untuk bank syariah.
”Kebijakan ini dinilai dapat meningkatkan likuiditas perbankan sehingga meningkatkan pertumbuhan kredit menjadi 10 persen hingga 12 persen,” ujar Ibrahim.
BI pun dinilai telah memberikan sinyal penurunan suku bunga pada momentum yang tepat. Hal itu menjadi katalis positif bagi rupiah karena penurunan suku bunga tersebut akan menggairahkan, baik dunia usaha maupun rumah tangga, untuk berekspansi.
Terlebih, lanjut Ibrahim, Indonesia baru saja menerima kenaikan peringkat kualitas investasi dari Standard and Poor’s (S&P), yang semula BBB- menjadi BBB+, sehingga dapat semakin memacu deras aliran masuk modal asing dalam bentuk portofolio.
Berdasarkan data BI, sejak awal Januari hingga 21 Juni 2019, nilai total aliran masuk modal asing telah mencapai Rp 130,24 triliun. Dana ini masuk dalam instrumen surat berharga negara (SBN), saham, maupun sertifikat Bank Indonesia (SBI).
”Penguatan rupiah juga akan didukung dari melemahnya nilai tukar dollar AS, imbas dari sinyal The Fed yang akan memangkas suku bunga acuan dalam waktu dekat,” kata Ibrahim.
Fokus pelaku pasar saat ini tengah mengarah pada pertemuan AS dengan China pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G-20 pada 28-29 Juni 2019. Pemimpin AS dan China sepakat bertemu di sela-sela konferensi untuk menegosiasikan perang dagang yang telah tereskalasi sejak Mei.
Sementara itu, ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, menilai, rupiah cenderung akan bergerak terbatas akibat eskalasi ketegangan geopolitik antara AS dan Iran. Pergerakan rupiah masih akan dipengaruhi sentimen pergerakan harga minyak mentah yang dipicu krisis teluk.
”Krisis teluk ini menambah risiko global di tengah isu perang dagang AS-China saat ini,” ujar Lana.
Sejak pekan lalu harga minyak mentah bergerak naik dipicu oleh kekhawatiran adanya serangan militer AS terhadap Iran. AS melalui Oman telah memperingatkan Iran atas rencana serangan, kecuali Iran mau bernegosiasi. AS dan Iran tidak memiliki hubungan diplomatik. Oman biasanya berperan sebagai perantara kedua negara itu.
Neraca dagang
BI memperkirakan neraca perdagangan Mei 2019 akan berbalik surplus. Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan, pihaknya melihat potensi surplus pada neraca perdagangan Mei 2019 setelah mengalami defisit hingga 2,5 miliar dollar AS.
”Kendati demikian, bank sentral mewaspadai penurunan impor dan ekspor yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini,” ujarnya, Kamis lalu.
Berlawanan dengan keyakinan BI, pengamat ekonomi Asian Development Bank Institute, Eric Sugandi, menilai, kondisi perlambatan permintaan global dapat menekan impor bahan baku untuk perusahaan-perusahaan berbasis ekspor.
”Jika permintaan impor untuk keperluan pembangunan infrastruktur tetap tinggi menilai impor masih akan tetap tinggi di tengah tekanan ekspor,” ujarnya.
Dampak dari tingginya permintaan impor, perbaikan pada sisi transaksi berjalan akan sulit dilakukan dalam jangka pendek di tengah permintaan global yang kian melemah.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menilai, tekanan terhadap neraca perdagangan dalam negeri masih akan berlanjut. Normalisasi permintaan global untuk memulihkan ekspor domestik akan bergantung pada perkembangan situasi perang dagang AS dan China.
Sepanjang eskalasi sengketa dagang antara AS dan China tidak mereda, David menilai, perbaikan defisit transaksi berjalan akan sulit. Dia memperkirakan defisit transaksi berjalan masih akan berkisar pada level 3 persen terhadap PDB.