Penyelesaian Diprioritaskan untuk Mengatasi Kelebihan Kapasitas Lapas
›
Penyelesaian Diprioritaskan...
Iklan
Penyelesaian Diprioritaskan untuk Mengatasi Kelebihan Kapasitas Lapas
DPR bersama pemerintah menargetkan revisi Undang-Undang Pemasyarakatan bisa tuntas sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir. Revisi undang-undang tersebut diyakini bisa menjadi solusi atas persoalan lembaga pemasyarakatan yang saat ini kelebihan kapasitas.
Oleh
Dhanang David dan Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – DPR bersama pemerintah menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bisa tuntas sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir, akhir September 2019. Masukan publik dan elemen masyarakat sipil agar revisi itu memperhatikan prinsip keadilan restoratif dibandingkan hukuman penjara, akan diperhatikan.
Usai rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berharap, RUU Pemasyarakatan bisa segera disahkan.
Saat ini, RUU tersebut sudah masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2019, dan pembahasannya di DPR diintensifkan.
Menurutnya, RUU Pemasyarakatan penting untuk bisa segera diselesaikan karena dapat menjadi solusi atas persoalan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang saat ini kelebihan kapasitas. Pasalnya, RUU mendorong pembinaan para narapidana tidak hanya terpaku pada hukuman penjara di dalam lembaga pemasyarakatan tetapi pembinaan di luar lapas.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan restoratif yang melandasi semangat pembahasan revisi UU Pemasyarakatan. Salah satunya, dengan mengatur alternatif hukuman kegiatan sosial di luar lapas.
"Jadi nanti konsepnya, para pelaku tindak pidana ringan, bisa menjalani hukuman sosial, seperti bekerja di panti jompo, atau menyapu jalanan. Tapi, nanti akan kami buat kategorinya, misalnya itu khusus bagi mereka yang masa hukumannya hampir habis," ujar Yasonna.
Belum menjawab
Namun menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Ari Pramuditya, draf RUU Pemasyarakatan yang disusun pemerintah belum menjawab sejumlah persoalan terkait pembinaan di luar lapas.
Penyusunan draf RUU ini juga dinilai tertutup tanpa mendengarkan masukan dari elemen masyarakat sipil.
Oleh karena itu, elemen kelompok masyarakat sipil di mana ICJR termasuk di dalamnya, menolak jika RUU Pemasyarakatan terburu-buru dituntaskan di akhir masa jabatan DPR.
Apalagi menurutnya, lebih baik jika RUU Pemasyarakatan dibahas setelah DPR dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU KUHP. Ini agar sinkron dengan arah pemidanaan yang diatur dalam KUHP yang baru.
“Dengan menguatnya prinsip restorative justice yang seharusnya menekankan pemulihan yang tidak sekadar berorientasi penjara, RUU ini justru masih sangat kental dengan hukuman pembinaan di dalam lapas,” kata Ari.
Konsep pemasyarakatan ke depan, menurutnya, seharusnya tidak lagi berat sebelah pada pembinaan dalam lapas, melainkan mulai menekankan pentingnya peran lembaga lain untuk mengintervensi perubahan perilaku narapidana. Misalnya, lewat Balai Pemasyarakatan (Bapas) atau Penelitian Pemasyarakatan (Litmas).
Namun, hal-hal tersebut justru tidak diatur dalam draf RUU Pemasyarakatan. “Dalam RUU ini, singkatnya, Bapas masih menjadi prioritas kedua. Padahal, Bapas adalah masa depan pemasyarakatan Indonesia. Jika konsep yang menjadi dasar pembentukan RUU ini saja masih belum kuat, maka tidak ada kebutuhan untuk membahas lebih jauh RUU ini,” ujar Ari.
Pembahasan DIM
Terkait hal tersebut, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, pembahasan RUU Pemasyarakatan tetap akan diprioritaskan oleh DPR dan pemerintah. Besok (25/6/2019), DPR dan pemerintah akan masuk pada pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari setiap fraksi di DPR. Setelah DIM diserahkan, panitia kerja akan dibentuk dan pembahasan RUU bisa dimulai.
Dia berjanji, masukan dari kelompok masyarakat sipil akan ditampung dalam DIM. Menurutnya, ada banyak isu penting dan masukan menarik dari kelompok masyarakat sipil, yang pada intinya menyoroti pentingnya prinsip keadilan restoratif serta penerapan hukuman yang tidak diskriminatif dan tetap memperhatikan hak asasi manusia (HAM).
Salah satu yang menarik, usulan untuk menerapkan sistem pembinaan narapidana berdasarkan poin. Sistem ini akan menjadi dasar pertimbangan untuk pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.
Jika narapidana memenuhi standar poin tertentu, ia bisa dipertimbangkan untuk diberikan remisi atau pembebasan bersyarat.
Aturan yang ada saat ini, jika narapidana melakukan pelanggaran, ia otomatis akan kehilangan hak untuk remisi dan pembebasan bersyarat. “Padahal ia sudah berkelakukan baik, tetapi karena satu kali pelanggaran, (haknya) langsung gugur. Ke depan, dasar pertimbangan remisi dan PB bisa berdasarkan sistem poin. Jika napi melanggar, poinnya akan berkurang, tetapi itu tidak otomatis menggugurkan haknya,” kata Arsul.