Kalangan pengusaha di Batam, Kepulauan Riau, memrotes pemberlakuan aturan baru rasionalisasi barang konsumsi bebas pajak dan cukai. Dipicu kurang koordinsi antarlembaga, aktivitas usaha terhambat karena impor barang penolong dan pelengkap industri tertahan di Singapura.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kalangan pengusaha di Batam, Kepulauan Riau, memprotes pemberlakuan aturan baru rasionalisasi barang konsumsi bebas pajak dan cukai. Dipicu kurang koordinsi antarlembaga, aktivitas usaha terhambat karena impor barang penolong dan pelengkap industri tertahan di Singapura.
Peraturan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Nomor 10 Tahun 2019 memangkas daftar barang konsumsi yang mendapat insentif fiskal di kawasan perdagangan bebas (FTZ) dari sebelumnya 2.500 jenis menjadi hanya 998 jenis barang.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Wilayah Batam Rafki Rasyid, Minggu (23/6/2019), mengatakan, peraturan itu disusun tanpa masukan dari pengusaha. Apindo baru mengetahui peraturan itu ketika sejumlah pengusaha mengeluhkan banyak pesanan barang pelengkap industri tertahan di Singapura.
”Peraturan Kepala (BP Batam) Nomor 10 Tahun 2019 diberlakukan per tanggal 15 Mei tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Akibatnya, banyak bahan kimia pelengkap industri yang dipesan dari Singapura tidak bisa masuk ke Batam,” kata Rafki.
Salah satu jenis barang pelengkap yang tertahan adalah etanol yang dibutuhkan banyak industri untuk membersihkan mesin pabrik. Selain mengganggu aktivitas produksi, hal itu juga membuat pengusaha harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar sewa gudang dan biaya lain selama barang itu tertahan di Singapura.
Peraturan Kepala BP Batam No 10/2019 mengatur barang pelengkap yang tidak diimpor langsung pelaku industri wajib dikenai bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan cukai. Jika ingin tetap mendapat insentif fiskal, pelaku industri harus mengimpornya sendiri tanpa melalui perantara.
Jika ingin tetap mendapat insentif fiskal, pelaku industri harus mengimpornya sendiri tanpa melalui perantara.
Menurut Rafki, selama ini, banyak pelaku industri di Batam tidak mengimpor sendiri bahan pelengkap yang dibutuhkan. Oleh karena kebutuhan barang pelengkap tidak sebanyak barang modal dan bahan baku, selama ini pengusaha lebih memilih membelinya dari importir lain untuk menghemat ongkos pengangkutan.
”Ada yang sudah mau membayar biaya masuk, tetapi juga tidak bisa karena Bea dan Cukai juga belum diajak koordinasi oleh BP Batam soal peraturan ini. Mereka belum bisa memungut pajak karena instrumennya belum ada,” ujar Rafki.
Kepala Kantor Pelayanan Tipe B Bea dan Cukai Batam Susila Brata juga menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan Perka BP Batam No 10/2019. Seharusnya BP Batam lebih dulu berkoordinasi dengan semua pihak terkait sehingga kebingungan di kalangan pengusaha seperti terjadi saat ini bisa dihindari.
”Kami akan segera berkoordinasi dengan BP Batam agar para pengusaha dapat segera menerima barang yang tertahan di Singapura. Hal itu penting untuk menjaga iklim investasi di Batam tetap kondusif,” kata Susila.
Sosialisasi
Sosialisasi Perka BP Batam No 10/2019, sebelumnya, pernah dilakukan di Gedung Teknologi Informasi BP Batam pada Kamis (20/5). Saat itu, pengusaha diminta mengirim surel kepada BP Batam tentang model bisnis yang terdampak pemberlakuan peraturan baru.
Dalam sosialisasi itu, Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam Tri Novianta Putra mengatakan, Perka BP Batam No 10/2019 dibuat untuk menindaklanjuti hasil evaluasi pemerintah pusat. Barang konsumsi yang mendapat insentif fiskal jumlahnya dinilai terlalu banyak dan penggunaannya berpotensi diselewengkan.
Barang konsumsi yang mendapat insentif fiskal jumlahnya dinilai terlalu banyak dan penggunaannya berpotensi diselewengkan.
Rafki menyayangkan langkah itu. Menurut dia, semestinya sosialisasi dilakukan sebelum peraturan diberlakukan. Bukan saat persoalan yang timbul akibat pemberlakuan aturan tersebut seperti saat ini. Selain itu, dalam sosialisasi itu, juga tidak ada kepastian waktu barang yang tertahan bisa sampai ke Batam.
Terkait dengan hal ini, Kepala BP Batam Edy Putra Irawady mengatakan, keresahan dan kebingungan di kalangan pengusaha terjadi hanya karena belum terbiasa dengan kebijakan yang baru. Ia menjamin semua kebijakan yang diambil BP Batam bertujuan memelihara investasi.
Menurut Edy, fasilitas FTZ hanya diperuntukkan bagi barang-barang yang mendukung kegiatan investasi dan ekspor. ”Sekarang ini, masalahnya banyak industri yang tergantung pada pedagang (importir), yang dikhawatirkan (pemerintah) lama-lama industri itu juga ikut berdagang,” ujarnya.