Pertumbuhan penerimaan pajak yang melemah sejak awal tahun turut dipengaruhi perlambatan investasi di tahun politik. Akselerasi pertumbuhan diupayakan pada semester II-2019 seiring membaiknya kepercayaan investor.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan penerimaan pajak yang melemah sejak awal tahun turut dipengaruhi perlambatan investasi di tahun politik. Akselerasi pertumbuhan diupayakan pada semester II-2019 seiring membaiknya kepercayaan investor.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan perpajakan per Mei 2019 ialah Rp 569,3 triliun atau 31,9 persen dari pagu APBN 2019. Penerimaan perpajakan pada Mei 2019 tumbuh 5,7 persen dibandingkan Mei 2018. Padahal, pada Mei 2018, penerimaan perpajakan tumbuh 14,5 persen ketimbang Mei 2017.
Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, total realisasi investasi periode Januari-Maret 2019 sebesar Rp 195,1 triliun. Secara tahunan, pertumbuhan investasi triwulan I-2019 melambat menjadi 5,3 persen dari triwulan I-2018 yang sebesar 11,8 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pertumbuhan perpajakan yang melemah sangat terkait dengan kondisi perekonomian di tahun politik. Sikap investor dan pelaku usaha yang cenderung menunggu dan melihat (wait and see) memengaruhi penerimaan perpajakan karena aktivitas ekonomi tertahan.
”Setelah bulan Juli akan ada percepatan dari investasi yang akan memacu penerimaan perpajakan,” kata Suahasil dalam rapat Badan Anggaran DPR di Jakarta, Senin (24/6/2019).
Upaya memacu pertumbuhan penerimaan salah satunya melalui optimalisasi perbaikan administrasi dan peningkatan kepatuhan perpajakan. Menurut Suahasil, rasio pajak akan ditingkatkan secara bertahap menjadi 12,22 persen pada 2019. Pemerintah menjamin peningkatan rasio pajak tidak mengganggu iklim investasi dan membebani dunia usaha.
Secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, reformasi perpajakan mutlak dilakukan untuk menarik investasi. Kendati pemerintah mengklaim sudah ada berbagai reformasi, aspek yang harus diperbaiki masih banyak, salah satunya kemudahan membayar pajak.
Sistem pembayaran pajak yang belum ramah bagi pelaku usaha turut memengaruhi daya tarik investasi. Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, Indonesia menempati peringkat 112 dari 190 negara dalam urusan pembayaran pajak.
”Selain masalah perizinan, daya tarik investasi di Indonesia tertahan urusan pembayaran pajak,” kata Febrio dalam forum kebangsaan Universitas Indonesia, Senin.
Menurut Febrio, saat ini sumber pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditopang konsumsi rumah tangga. Kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi mulai meningkat dari sekitar 32 persen menjadi 33-35 persen. Untuk itu, pemerintah harus melakukan perbaikan yang konsisten dan berkelanjutan, terutama pada aspek perpajakan dan perizinan.
Dari kajian LPEM UI, kata Febrio, perekonomian Indonesia dalam 10 tahun ke depan akan tumbuh berkisar 5,3-5,5 persen per tahun atau di atas rata-rata potensi pertumbuhan dunia yang sekitar 3,6 persen per tahun. Indonesia juga berpotensi masuk 10 besar negara ekonomi terbesar di dunia menyalib Australia, Perancis, dan Kanada.
Tren melemah
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, tren pertumbuhan penerimaan pajak memang menunjukkan pelemahan. Penerimaan pajak dapat meningkat seiring perbaikan kondisi perekonomian dalam negeri. Obyek pajak mengacu besaran produk domestik bruto (PDB)
Pada 2020, Robert menyatakan, proyeksi pertumbuhan penerimaan pajak berkisar 9-12 persen dengan asumsi perekonomian tumbuh 5,2-5,3 persen dan inflasi 3,5 persen. Pencapaian target pertumbuhan itu dipengaruhi arah dan inovasi kebijakan pada tahun berjalan.
”Kami akan memanfaatkan sumber data termasuk hasil pertukaran data keuangan dalam dan luar negeri,” kata Robert.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, pertumbuhan penerimaan pajak yang melemah dipengaruhi penurunan harga komoditas global. Kondisi itu tecermin pada penerimaan industri pengolahan yang turun 2,7 persen dan industri pertambangan turun 12,5 persen per Mei 2019.
Meski demikian, lanjut Prastowo, Direktorat Jenderal Pajak masih berpotensi membidik penerimaan lain, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri, tindak lanjut pengampunan pajak (tax amnesty), dan optimalisasi pertukaran data keuangan (sistem automatic exchange of information/AEoI).