Hasil analisa ICJR dan MaPPI terhadap draf RKUHP menemukan adanya kesenjangan aturan antara yang tertera di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan RKUHP. Selain itu, ada pula problem aturan yang kontradiktif dan ketiadaan pidana tambahan. DPR dan pemerintah diminta tak tergesa-gesa mengesahkan RKUHP.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ketentuan tindak pidana korupsi di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dinilai belum mencerminkan semangat antikorupsi. Selain problem kesenjangan aturan antara yang tertera di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan di RKUHP, ada pula problem aturan yang kontradiktif dan ketiadaan pidana tambahan.
Berdasarkan hasil analisa antara pasal-pasal tindak pidana korupsi di Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan draf RKUHP hasil pembahasan pemerintah dan DPR, Mei 2018, oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), ditemukan setidaknya lima kesenjangan.
Hasil analisa dipaparkan saat seminar publik bertajuk "Menelaah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP", di Jakarta, Senin (24/6/2019).
Hadir sebagai narasumber dalam seminar itu, Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara, Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Siska Trisia, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah, dan Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang.
Lima kesenjangan dimaksud, pertama, soal penyuapan pejabat publik nasional (bribery of national public officials). Terdapat suap pasif yang diatur pada pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor dan suap aktif yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) a dan b UU Tipikor. Kedua pasal itu mengatur perbuatan yang sama tetapi memiliki ancaman pidana yang berbeda. Seharusnya RKUHP bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
Kemudian, Pasal 695 RKUHP belum mengatur secara spesifik mengenai ketentuan penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi publik internasional. “Yang menjadi catatan adalah dalam hal memastikan definisi dan ruang lingkup siapa pejabat publik asing dan kriteria organisasi internasional publik,” kata Peneliti MaPPI Siska Trisia.
Poin berikutnya mengenai penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik. Ketentuan mengenai penggelapan telah diatur di UU Tipikor sedangkan di RKUHP, tindak pidana itu tidak spesifik diatur.
Hanya pada pasal 688 RKUHP disebutkan mengenai penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana karena kedudukan atau jabatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Maka perlu mengharmonisasi dan mensinkronisasi ketentuan dalam UU Tipikor dan RKUHP tersebut,” kata Siska.
Kesenjangan berikutnya, yaitu tentang pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime). Pada dasarnya, perlu dirumuskan hukum acara yang komprehensif dalam penanganan perkara korupsi yang sekaligus dikaitkan dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Poin terakhir, yaitu tentang menghalangi proses peradilan (obstruction of justice). Dalam UU Tipikor terdapat dalam Pasal 21 sampai Pasal 24 sedangkan dalam RKUHP ketentuan ini tersebar, paling banyak berada dalam aturan penghinaan terhadap peradilan. “Artinya tidak spesifik menjadi delik Tipikor sebagaimana dalam UU Tipikor,” ujar Siska.
Problem lain
Selain problem kesenjangan tersebut, Siska melihat tak ada kejelasan terkait pidana inti dari tindak pidana khusus, termasuk korupsi, yang diputuskan pemerintah dan DPR masuk di dalam RKHUP.
“Tim perumus sudah beberapa kali menyatakan bahwa yang akan diatur dalam RKUHP adalah core crime atau pidana inti dari tindak pidana khusus. Namun, tidak pernah ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud core crime dan bagaimana menentukannya,” katanya.
Ketentuan lain di RKUHP yang dinilai masih belum mencerminkan semangat antikorupsi adalah, pengaturan mengenai korporasi yang selain kontradiktif antara pasal 53 dan pasal 56 RKUHP, ketentuan korporasi dalam RKUHP malah mengatur terlalu rigid terkait pertanggungjawaban korporasi.
“Pada akhirnya, aturan ini mempersempit teori yang dapat digunakan dalam RKUHP. Terlihat dari ruang lingkup pengaturan pertanggungjawaban korporasi yang hanya mengatribusikan perbuatan korporasi sebagai perbuatan pengurus korporasi atau identification theory,” papar Siska.
Dia juga mengkritisi ketiadaan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, di RKUHP. Dengan tidak diakomodasinya pidana tambahan, maka akan merugikan negara.
Hal lain, masalah dalam pengaturan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Di RKUHP memang telah dimuat pasal-pasal TPPU, yang berada di pasal 697-699. Ini diambil dari UU TPPU. Namun persoalannya tidak semua delik diadopsi. Yang diadopsi hanya pidana intinya. Masalah lain, rumusan pasal di RKUHP dinilai rancu. Salah satunya karena rumusan pasal berbeda dengan UU TPPU yang secara tegas mengatur jenis tindak pidana asal.
Selain itu, di Pasal 144 ayat 1 huruf b RKUHP disebutkan bahwa salah satu sebab gugurnya hak penuntutan adalah karena terdakwa meninggal dunia. Padahal dalam UU TPPU, sekalipun terdakwa meninggal dunia, perkara tetap bisa dilanjutkan melalui penuntutan terhadap harta kekayaan yang patut diduga berasal dari tindak pidana.
Atas persoalan-persoalan yang ada itu, ICJR dan MaPPI meminta agar pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa menuntaskan RKUHP. Materi di RKUHP, khususnya soal delik korupsi, perlu dikaji lebih dalam lagi.
Sebelumnya, DPR bersama pemerintah menargetkan RKUHP bisa dituntaskan sebelum masa kerja DPR 2014-2019 berakhir akhir September mendatang.
Korupsi di RKUHP
Sementara mengenai polemik masuknya delik korupsi dalam RKUHP, Chandra M Hamzah menilai korupsi tidak termasuk jenis tindak pidana administrasi. Dengan demikian, UU Tipikor dapat dimasukkan dalam RKUHP.
KPK dan Kejaksaan pun tak akan kehilangan kewenangan untuk penyidikan dan penuntutan dengan syarat tindak pidana korupsi dengan tegas dinyatakan atau dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi di RKUHP.“Pilihannya, seluruh delik tipikor diatur (dipindahkan) ke dalam RKUHP, atau seluruhnya tetap berada di UU Tipikor. Apapun pilihannya, yang terpenting tidak membuat KPK dan Kejaksaan kehilangan kewenangan penyidikan dan penuntutannya,” kata Chandra.
Berbeda dengan Chandra Hamzah, Rasamala Aritonang mengatakan KPK tetap pada sikapnya menolak masuknya delik korupsi ke dalam RKUHP. Sebab, berisiko terhadap upaya pemberantasan korupsi.