Kekeringan mengakibatkan penyusutan ketinggian dan debit air termasuk di Waduk Wonorejo, Tulungagung, Jawa Timur. Namun, kekeringan belum sampai mengganggu fungsi irigasi, kelistrikan, atau air minum.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kekeringan mengakibatkan penyusutan ketinggian dan debit air termasuk di Waduk Wonorejo, Tulungagung, Jawa Timur. Namun, kekeringan belum sampai mengganggu fungsi irigasi, kelistrikan, atau air minum.
Waduk Wonorejo seluas 3,85 kilometer persegi itu terletak di Desa Mulyosari, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung. Waduk menerima dan membendung aliran Sungai Bodeng, Sungai Kaliwangi, dan Sungai Kaliputih. Waduk tersebut dalam pengelolaan Perum Jasa Tirta I yang beroperasi sejak 2001.
Struktur berkapasitas 106 juta meter kubik (m3) air ini merupakan pengendali banjir, penyuplai kebutuhan air baku, irigasi, dan pembangkit listrik tenaga air. Saat musim hujan, perannya sebagai pengendali banjir, sedangkan saat musim kemarau untuk irigasi dan lainnya.
Pengatur Waduk Wonorejo, Abdul Basid, yang dihubungi dari Surabaya, Senin (24/6/2019), mengatakan, ketinggian air pada hari itu 180,68 meter. Angka tersebut sedikit di bawah pola rencana elevasi hari itu yang setinggi 181 meter. Untuk pengaturan air yang dikeluarkan atau outflow pada Senin ialah 3,5 m3 per detik. Angka ini jauh di bawah pola rencana yang 4,5 m3 per detik.
Khusus untuk pengaturan air yang dikeluarkan guna irigasi, Waduk Wonorejo pada Senin menggelontorkan 1,75 m3 per detik atau di atas pola rencana 1,71 m3 per detik. ”Artinya, ketersediaan air di Waduk Wonorejo masih bisa memenuhi kebutuhan untuk irigasi dan pemanfaatan lainnya,” kata Abdul.
Ketersediaan air di Waduk Wonorejo masih bisa memenuhi kebutuhan untuk irigasi dan pemanfaatan lainnya.
Pengelola menerapkan pola rencana elevasi dan outflow dalam rentang dasarian atau per sepuluh hari, tetapi kini diturunkan menjadi harian. Dalam musim kemarau, penurunan elevasi dan debit air yang dikeluarkan sudah pasti terjadi.
”Namun, jika masih tidak jauh dari angka pola rencana, berarti tidak ada fungsi yang terganggu,” ujar Abdul.
Bulan ini pada umumnya di Indonesia merupakan awal musim kemarau. Kondisi lebih kering dan jarang hujan akan terjadi hingga lima bulan mendatang. Mengutip situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, fenomena El Nino lemah diprediksi akan berlangsung hingga November 2019.
Kondisi tersebut mendorong Perusahaan Umum Jasa Tirta I sebagai badan usaha milik negara pengelola sumber daya air harus mengelola ketersediaan air permukaan melalui pengendalian dan pengaturan di waduk-waduk yang dikelolanya.
Waduk Wonorejo merupakan satu dari delapan struktur serupa di Jawa Timur yang dikelola Jasa Tirta I. Tujuh struktur berada di Wilayah Sungai Brantas dan satu waduk di Wilayah Sungai Bengawan Solo. Kedua sungai merupakan batang air terpanjang di Pulau Jawa.
Seluruh waduk itu ialah Sengguruh, Sutami, Lahor, Wlingi, Selorejo, Wonorejo, Bening, dan Wonogiri. Dari Wilayah Sungai Brantas tertampung 354 juta m3 air dan dari Wilayah Sungai Bengawan Solo tersedia 348 juta m3 air. Seluruh air yang ditampung atau disimpan sepanjang musim hujan di waduk-waduk itu akan didistribusikan secara merata ke hilir aliran sungai-sungai sepanjang musim kemarau.
Penyaluran air harus tetap memperhatikan pemenuhan kebutuhan di setiap sektor pemanfaat, yakni persawahan, kelistrikan, dan rumah tangga (air minum).
Terkait dengan kekeringan, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur Subhan Wahyudiono mengingatkan potensi bencana kekeringan di 24 kabupaten/kota dari 38 daerah tingkat dua di provinsi tersebut. Daerah terawan ialah Kabupaten Sampang di Pulau Madura.
Menurut catatan BPBD Jawa Timur, terdapat 556 desa yang rawan kekeringan. Sebanyak 199 desa di antaranya berpotensi tidak ada air sama sekali.
Untuk kondisi yang tidak ada air sama sekali, penanganan kekeringan hanya bisa dilakukan dengan pengiriman air melalui truk-truk tangki. Pengiriman air harus dipenuhi terlebih dahulu oleh BPBD kabupaten/kota. Jika masih kurang, provinsi akan mengirim tambahan sebanyak 6.000 liter per pengiriman.
Selain kekeringan, lanjut Subhan, potensi yang patut selalu diwaspadai ialah kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah dan pemangku kepentingan di daerah diingatkan untuk mewaspadai potensi kebakaran. Di kawasan hutan dan lahan, perilaku sepele, misalnya membuang puntung rokok atau lupa memadamkan perapian, dapat berakibat buruk.
Di permukiman, potensi munculnya sumber api harus diketahui dan dicegah. Pelatihan terhadap kelompok masyarakat untuk penanggulangan kebakaran juga mutlak diperlukan.