China Butuh Strategi Diseminasi Informasi Proyek BRI
›
China Butuh Strategi...
Iklan
China Butuh Strategi Diseminasi Informasi Proyek BRI
Komunitas masyarakat di kawasan Asia Tenggara masih meragukan manfaat proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang ditawarkan China. China membutuhkan strategi baru dalam melakukan diseminasi informasi mengenai BRI.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komunitas masyarakat di kawasan Asia Tenggara masih meragukan manfaat proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang ditawarkan China. China membutuhkan strategi baru dalam melakukan diseminasi informasi mengenai BRI.
Wakil Presiden Eksekutif China Institute of International Studies Ruan Zongze, Selasa (25/6/2019), di Jakarta, mengatakan, masih ada tudingan bahwa BRI adalah rencana besar China untuk memberikan jebakan utang dan mengeksploitasi negara lain. Oleh karena itu, China menjawab sejumlah tudingan negatif yang beredar mengenai BRI.
”Proyek BRI bertujuan untuk mempromosikan kemitraan global dalam konektivitas. BRI bersifat terbuka, eksklusif, dan saling menguntungkan. Anda bisa keluar dari proyek, tetapi sejauh ini belum ada yang pernah keluar,” kata Zongze, dalam The Second Jakarta Forum on ASEAN-China Relations bertajuk ”ASEAN and BRI: Prospects for Common Development and Shared Prosperity”, Selasa di Jakarta.
Zongze melanjutkan, China memandang penting untuk memperkenalkan BRI secara obyektif dan inovatif. China juga berkomitmen memperkuat kolaborasi antara pemangku kepentingan, melibatkan lebih banyak kerja sama rantai produksi global, menciptakan mekanisme pendukung jangka panjang, dan menyediakan lapangan pekerjaan berkualitas.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B Hirawan, berpendapat, China perlu menerapkan langkah lain untuk mempromosikan BRI di kawasan Asia Tenggara. Saat ini, mayoritas negara anggota ASEAN masih berhati-hati menghadapi proyek BRI.
”China masih mengedepankan pembangunan konektivitas fisik dibandingkan nonfisik (soft connectivity). Padahal, seharusnya kebalikannya,” kata Fajar.
Menurut Fajar, China perlu untuk meningkatkan interaksi antarmanusia antara China dan negara kawasan terlebih dulu. China perlu mendorong pertukaran pelajar, membangun sejumlah pusat belajar kebudayaan China di negara-negara tujuan, dan mengadakan diskusi secara berkala.
Dengan begitu, masyarakat akan lebih mengenal China sehingga tidak bersikap antipati sebelum mengetahui manfaat proyek BRI bagi pembangunan bangsa. Bidang kerja sama yang dapat digali antara China dan ASEAN antara lain ekonomi dan bisnis, teknologi, pendidikan, serta sosial dan budaya.
Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Yeremia Lalisang, mengatakan, dari sudut pandang sejumlah pemangku kebijakan Indonesia, BRI merupakan proyek yang secara umum mempromosikan kepentingan China. Indonesia dan China sedang menggarap proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) tujuan Jakarta-Bandung.
Momen tepat
Zongze menuturkan, kolaborasi dan multilateralisme dibutuhkan di era yang penuh ketidakpastian ini. ”Pelambatan ekonomi global akibat unilateralisme dan proteksionisme membuat ini menjadi momen yang tepat bagi kita untuk menjaga pasar tetap terbuka,” ujar Zongze.
China, lanjutnya, ingin menunjukkan kepada dunia bahwa China siap melakukan lebih banyak reformasi. Adapun China dan Amerika Serikat saat ini sedang bernegosiasi untuk mencari jalan keluar dari perang dagang.
Presiden China Xi Jinping meluncurkan BRI pada 2013 sebagai proyek interkoneksi multilateral yang akan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika. Fokus proyek antara lain membangun infrastruktur, memperkuat interaksi antar-manusia dan budaya di kawasan, serta mempermudah transaksi ekonomi lintas batas.
BRI menjadi peluang untuk memenuhi kebutuhan dana investasi di kawasan Asia Tenggara. Bank Pembangunan Asia memperkirakan Asia Tenggara membutuhkan dana investasi sebesar 2,8 triliun dollar AS hingga 2030.