JAKARTA, KOMPAS -- Akibat mundurnya masa panen raya dan kekeringan, produksi beras nasional pada 2019 terancam turun. Di tengah ancaman itu, pemerintah memutuskan untuk operasi pasar beras tiap hari mulai Selasa (25/6/2019). Tujuannya, mengendalikan harga beras agar tidak melonjak tinggi.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, produksi beras nasional sepanjang 2019 diproyeksikan mencapai 30 juta ton. Sementara, Badan Pusat Statistik mencatat, produksi beras sepanjang 2018 mencapai 32,42 juta.
Artinya, produksi beras nasional sepanjang 2019 diproyeksikan turun 7,46 persen. "Penurunan ini disebabkan oleh kekeringan dan peralihan lahan tanam," kata Dwi saat dihubungi, Selasa (25/6/2019).
Laporan AB2TI yang diterima Dwi menyebutkan, sebanyak 38 persen lahan tanam padi di Indramayu berpotensi puso pada masa panen kedua 2019 karena kekeringan. Produksi beras di Lamongan, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Tengah berpotensi turun hingga 50 persen karena kekeringan dan serangan hama tikus.
Sementara, potensi penurunan lahan tanam terjadi akibat mundurnya masa panen raya 2019 yang jatuh pada Maret hingga Mei. Dwi mengatakan, petani beralih ke jenis tanaman lain yang masa tanam dan masa panennya tidak mengalami kemunduran.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir berpendapat, kekeringan tak berdampak signifikan pada produksi beras nasional 2019. Menurutnya, sentra-sentra di luar Pulau Jawa masih mampu menopang.
Sebagai strategi dalam mengatasi kekeringan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, pihaknya akan mempersiapkan infrastruktur pengairan, misalnya irigasi pompa. "Pokoknya produksi (beras) aman," katanya.
Tidak logis
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan untuk menggelar operasi pasar setiap hari sejak Selasa ini. Operasi pasar ini merupakan salah satu bentuk dari program ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kelancaran sirkulasi stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog.
Pada Mei 2019 beras berkontribusi pada deflasi pangan. BPS mendata, harga beras medium di tingkat penggilingan turun 0,02 persen secara bulanan dan 0,52 persen secara tahunan menjadi Rp 9.143 per kg. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani juga turun 0,02 persen secara bulanan dan 4,36 persen dibandingkan Mei 2018 menjadi Rp 4.356 per kg.
Operasi pasar merupakan salah satu bentuk dari program ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH)
Di tingkat konsumen, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis menyebutkan, rata-rata nasional harga beras medium sebesar Rp 11.550 per kg - Rp 11.800 per kg pada awal Juni. Saat ini, harganya berkisar Rp 11.600 per kg - Rp 11.800 per kg.
AB2TI meriset, ongkos produksi petani sebesar Rp 4.523 per kilogram (kg) gabah. Sementara, pemerintah masih berkutat dengan harga pembelian gabah sebesar Rp 3.700 per kg - Rp 4.070 per kg di tingkat petani.
Oleh sebab itu, Winarno berpendapat, keputusan operasi pasar beras KPSH itu semakin membuat kondisi petani terpuruk. "Operasi pasar akan semakin menekan harga di tingkat petani," katanya.
Apalagi, penyerapan Bulog selama panen raya 2019 tidak optimal. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mendata, serapan dalam negeri untuk pengadaan Bulog sepanjang Januari hingga 29 Mei 2019 sebesar 600.090 ton sedangkan angka sepanjang Januari-Mei 2018 mencapai 871.200 ton. Menurut Winarno, hal ini mengindikasikan, petani sudah tertekan sejak panen raya 2019 lalu.
Senada dengan Winarno, Dwi berpendapat, keputusan pemerintah tersebut tidak logis karena membuat pasar "banjir" dengan beras. Akibatnya, permintaan beras di tingkat penggilingan akan tertahan sehingga penyerapan gabah di tingkat petani berpotensi merosot. Seharusnya, operasi pasar digelar pada September, yakni saat mulai musim tanam yang dipanen pada awal tahun.
Apabila akar masalahnya adalah penyaluran, Dwi mengatakan, Bulog mesti profesional untuk terjun ke ranah komersial karena Bulog berpotensi unggul dibandingkan pelaku industri beras lainnya. "Pasar di dalam program bantuan pangan nontunai (BPNT) harus dimanfaatkan oleh Bulog. Bulog bisa bersaing dengan cara memberikan harga yang lebih murah dibandingkan pemain beras lainnya untuk kualitas yang sama," tuturnya.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, pihaknya siap memanfaatkan pasar BPNT. "Kami akan berkompetisi sehingga memenuhi kuota 70 persen tersebut," ujarnya. (JUD)