Selaraskan BRI dengan Rencana Konektivitas ASEAN 2025
›
Selaraskan BRI dengan Rencana ...
Iklan
Selaraskan BRI dengan Rencana Konektivitas ASEAN 2025
Sebelum menjalin kerja sama, China dan ASEAN perlu menyelaraskan proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) dengan Rencana Induk Konektivitas ASEAN (MPAC) 2025. Hal ini bertujuan untuk memastikan proyek-proyek tersebut akan membawa manfaat bagi seluruh kawasan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum menjalin kerja sama, China dan ASEAN perlu menyelaraskan proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) dengan Rencana Induk Konektivitas ASEAN (MPAC) 2025. Hal ini bertujuan untuk memastikan proyek-proyek tersebut akan membawa manfaat bagi seluruh kawasan.
Wang Peng, Associate Research Fellow Chongyang Institute of Financial Studies, Renmin University of China, Selasa (25/6/2019), di Jakarta, mengatakan, ada lima bidang utama yang memiliki prospek kolaborasi untuk proyek BRI dan MPAC 2025. MPAC 2025 fokus pada lima bidang, yaitu infrastruktur yang berkelanjutan, inovasi digital, kelancaran logistik, regulasi yang unggul, dan mobilitas orang.
”Konsep itu sejalan dengan fokus proyek BRI, yaitu konektivitas fasilitas, integrasi layanan keuangan, perdagangan dan investasi, koordinasi kebijakan, dan pertukaran budaya,” kata Wang dalam The Second Jakarta Forum on ASEAN-China Relations bertajuk ”ASEAN and BRI: Prospects for Common Development and Shared Prosperity”, Selasa di Jakarta.
Wang mengatakan, China mendukung visi besar ASEAN untuk menjadi pusat ekonomi dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik. Oleh karena itu, ASEAN dapat memetik manfaat jika berkolaborasi dengan China.
Seperti yang diwartakan sebelumnya, Presiden China Xi Jinping meluncurkan BRI sebagai proyek interkoneksi multilateral yang akan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika pada 2013. Fokus proyek BRI antara lain membangun infrastruktur, memperkuat interaksi antarmanusia dan budaya di kawasan, serta mempermudah transaksi ekonomi lintas batas.
BRI menjadi peluang untuk memenuhi kebutuhan dana investasi di kawasan Asia Tenggara. Bank Pembangunan (ADB) memperkirakan Asia Tenggara membutuhkan dana investasi sebesar 2,8 triliun dollar AS hingga 2030.
”BRI akan membantu pembangunan bangsa, menurunkan tarif perdagangan, dan meningkatkan investasi asing bagi negara-negara anggota ASEAN. Proyek BRI juga memberikan efek samping positif, seperti transfer teknologi yang saling menguntungkan,” ucap Wang.
Saat ini, kerja sama antara China dan ASEAN memasuki level yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, lanjut Wang, penyelarasan BRI dan MPAC masih menemukan sejumlah kendala, misalnya, kurangnya rasa saling percaya di bidang politik dan kerja sama strategis serta minimnya proyek unggulan kolaborasi China-ASEAN untuk memacu mesin perekonomian.
Wakil Presiden Eksekutif China Institute of International Studies Ruan Zongze menyampaikan, China berupaya melakukan pendekatan secara multilateral ketimbang bilateral agar proyek sejalan dengan visi MPAC 2025. Sebelum mulai bekerja sama, China dan ASEAN akan mengidentifikasi area apa saja yang memiliki peluang kolaborasi.
”Kedua belah pihak lalu akan membentuk kelompok kajian, terdiri dari perusahaan, pemerintah, dan organisasi nonpemerintah. Kelompok ini mengkaji proyek yang berpotensial tersebut,” kata Ruan.
Potensi Indonesia
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B Hirawan, berpendapat, China dan Indonesia memiliki potensi besar untuk bekerja sama di bidang ekonomi, teknologi, pendidikan, serta sosial dan budaya. China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), negara dengan realisasi investasi terbesar di Indonesia selama 2015-2018 adalah Singapura (32,7 miliar dollar AS), Jepang (18,2 miliar dollar AS), dan China (9 miliar dollar AS). Investasi China terbanyak di sektor sekunder (56,9 persen), diikuti sektor tersier (39,2 persen) dan primer (3,9 persen).
”Investasi dari China telah memberi manfaat bagi ASEAN, termasuk Indonesia, dalam mempromosikan industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja,” kata Fajar.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah lokal perlu menjadi fasilitator, regulator, dan penyedia keamanan dalam menangani kerja sama dengan China. Pemerintah juga perlu lebih tanggap dalam menghadapi isu negatif mengenai kolaborasi kedua belah pihak dan menyediakan data yang akurat bagi publik.