Tangan-tangan Kecil di Galian Bumi
Derap langkah cepat menjejak pasir yang dijerang panas matahari. Tanpa alas kaki, Yunianti (12) mendorong gerobak berisi kerikil. Serupa anak lain di wilayah ini, ia lebih dini berkenalan dengan tambang galian C, bergelut untuk mencari tambatan hidup.
Saat gerobak itu terisi penuh, Yunianti meletakkan baki plastik yang dipakainya menyerok kerikil dari gundukan. Ia bergeser ke belakang gerobak, mengalungkan tali gerobak ke leher, lalu tangannya yang terbungkus sarung lusuh mendorong gerobak.
Kakinya menjejak dalam-dalam ketika tiba di tepian sungai di wilayah Kelurahan Ulunggolaka, Latambaga, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Minggu (19/5/2019). Kala melalui tanjakan, ia mendorong sekuat tenaga sembari menahan keseimbangan. Sekitar 20 meter melangkah, ia tiba di ”penampungan” kerikil.
Bocah sulung tiga bersaudara ini berbalik badan, lalu turun kembali ke sungai. ”Belum penuh. Mau tambah dulu,” ucap Anti, panggilannya, sembari mengambil kembali baki yang teronggok di atas kerikil.
Baki itu diisi kembali penuh, lalu dibawa berlari ke gerobak. Lebih kurang lima kali ia bolak-balik dari sungai ke tempat penampungan sementara. Ia baru kelar saat kerikil di gerobak meluber. Dengan segenap tenaga, di belakang kemudi gerobak, ia memiringkan gerobak, menumpahkan semua isinya ke atas gundukan yang terus bertambah tinggi.
”Selesai yang kedua,” kata siswi yang baru lulus dari sekolah dasar ini. Dari sela jilbab biru yang dipakainya, keringat mengalir ke wajah hitam manisnya.
Adiknya, Isda (5), mengikuti dari belakang. Di mana sang kakak berjalan, ia mengekor, juga tanpa alas kaki. Padahal, matahari yang terik menjelang tengah siang terasa menyengat kulit. Kerikil dan pasir di tanah juga terasa menyengat.
Dalam sehari, Anti mengumpulkan empat gerobak kerikil, dihargai Rp 10.000 tiap gerobak. Uang Rp 40.000 dikantonginya pulang ke rumah. Libur seperti saat ini benar-benar dimanfaatkan untuk mencari uang sejak pagi.
Anti mengumpulkan kerikil sejak setahun lalu. Ia datang sepulang sekolah hingga sore. Kecuali sakit atau ujian, ia rutin datang ke Sungai Ulunggolaka yang terletak sekitar 700 meter dari rumahnya.
Jika dalam setahun terakhir maksimal datang 300 kali, ia telah mendorong gerobak 1.200 kali. Seumpama satu gerobak seberat 10 kg, ia telah mengangkat 12 ton kerikil. Saat membuka sarung tangan, kulitnya tak lagi halus.
”Uangnya dikasih ke mama untuk beli beras, sebagian untuk beli buku,” ucap Anti yang terakhir kali mendapat peringkat kelima sebelum lulus.
Ibunya merupakan petani penggarap kebun tetangga yang sejak berpisah dengan suami menanggung tiga anak. Ibunya juga sesekali datang ke sungai untuk bekerja galian.
Mengumpulkan kerikil merupakan salah satu yang bisa dikerjakan dengan mudah oleh Anti. Bermodal tenaga, ia dan anak-anak lain di sana bisa mendapatkan puluhan ribu dalam sehari. Puluhan tahun warga secara turun-temurun juga bekerja di lokasi tambang galian C yang tidak berizin itu.
Berjarak beberapa kilometer ke hulu sungai, masih di kelurahan sama, sejumlah anak berkarib dengan sekop. Ikbal (13) berada di bagian tengah sungai yang merendam setengah badannya.
Dengan gerakan kuat, kedua tangannya menarik sekop yang terendam dalam air. Pasir dari dasar sungai terangkut sekop, lalu ditumpahkan di sebuah bak kayu yang mengapung di atas rakit bambu. Perlahan, bak mulai terisi penuh pasir. Bersama dua rekannya, Alam (17) dan Randi (18), ketiganya sibuk menjaring pasir.
Lima menit berselang, pasir menggunung. Ketiganya lalu menaruh sekop ke atas bak. Ikbal dan Randi lalu mengambil posisi di depan rakit dan Alam di belakang. Bersama-sama mereka mendorong rakit melawan arus menuju tempat penampungan sekitar 200 meter. Saat tiba di sana, pasir di bak kayu harus dipindahkan ke penampungan itu.
”Dapat Rp 10.000 satu baknya,” ucap Ikbal yang masih duduk di kelas IX. Saban pulang sekolah, ia rutin datang ke sungai sejak setahun lalu.
Sementara itu, Randi, hampir setiap hari berada di tempat ini. Ia tidak lagi bersekolah sejak lulus sekolah menengah pertama, dua tahun lalu. ”Ke sini karena lihat orang ambil pasir dari dulu,” katanya.
Pertambangan dini
Anti, Ikbal, dan anak-anak lain di wilayah ini adalah beberapa dari anak yang mengenal tambang sejak usia dini. Mereka mungkin belum begitu mengerti dampak dari yang mereka lakukan. Sungai mulai terkikis di beberapa bagian.
Sebelum mereka menambang pasir dan kerikil, sungai ini pernah ramai penambang emas. Satu yang anak-anak ini tahu, uang mudah didapat dengan menggali bumi.
Tidak hanya di wilayah ini, banyak anak di Kabupaten Kolaka juga mengenal jenis tambang sejak mereka kecil. Di daerah Pomalaa, anak-anak tinggal di atas slag atau limbah tambang nikel. Rumah-rumah mereka dibangun dengan fondasi dari slag. Mereka bermain di depan rumah dengan menggaruk-garuk slag seperti bermain pasir. Berbagai perusahaan besar nikel berada di dekat rumah mereka.
Hadiman (35), warga Desa Tambea, Kecamatan Pomalaa, menuturkan, rumah-rumah warga di kampungnya dibangun di atas timbunan ratusan ton slag nikel. Sejak ia kecil, hingga berumur remaja, slag terus ditimbun menjadi daratan baru.
”Sekarang mereka menimbun di dermaga, panjangnya sudah hampir 3 kilometer. Anak-anak di sini cita-citanya kerja di dalam (tambang), tinggal sedikit yang mau jadi nelayan seperti saya. Susah juga karena cari ikan harus melaut sampai 30 mil,” katanya.
Di daerah Morosi, Kabupaten Konawe, anak-anak terpapar debu jalan dan asap pembakaran smelter. Jika orangtua mereka dahulu masih hidup di lingkungan tambak dan menjadi petambak saat dewasa, anak-anak ini besar dengan dikelilingi area tambang. Berpetak-petak tambak orangtua mereka beralih jadi tambang.
”Anak saya sudah satu orang kerja di tambang. Saya tinggal jual lahan terus pindah,” ucap Duang. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Udin Lentea mengatakan, keberadaan tambang yang mengepung sebagian wilayah Sultra telah mengubah persepsi masyarakat tentang pekerjaan. ”Mereka terhegemoni dengan pekerjaan tambang sehingga akhirnya orientasi orang itu bekerja di pertambangan saja,” katanya.
Di sisi lain, dampak buruk tambang terus terjadi. Hutan-hutan dengan tanaman sagu yang menjadi makanan pokok masyarakat dulu mulai habis. Gunung-gunung dikeruk, lautan pun berubah. Dan, anak-anak ini sebagai generasi penerus bakal menuai dampaknya. (Saiful Rijal Yunus)