Kementerian Kelautan dan Perikanan mengantongi data aliran dana yang diduga untuk mendanai pengepul menyerap benur lobster dari nelayan lokal. Polisi perlu menangkap pengepul untuk memberantas penyelundupan benur lobster.
Oleh
Kurnia Yunita/Ryan Rinaldy/Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mengantongi data aliran dana yang diduga untuk mendanai pengepul menyerap benur lobster dari nelayan lokal. Polisi perlu menangkap pengepul untuk memberantas penyelundupan benur lobster.
Dalam setahun, aliran dana dari luar negeri yang diduga digunakan untuk mendanai pengepul membeli benur tangkapan nelayan lokal berkisar Rp 300 miliar hingga Rp 900 miliar.
Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Rina mengungkapkan, pengepul di desa memiliki kemampuan modal yang besar karena mereka memperoleh suplai dana dari bandarnya di luar negeri.
Rina mengatakan, dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dikantongi KKP, dana terlacak masuk dari rekening bank di Singapura, lalu dikirim ke Batam dan Brunei Darussalam. ”Rata-rata dalam setahun berkisar Rp 300 miliar sampai Rp 900 miliar,” ujarnya.
Dana itu, menurut Rina, kemudian dialirkan kepada pengepul melalui rekening salah satu bank swasta di dalam negeri. Dana tersebut tak langsung dialirkan kepada pengepul, tetapi melalui beberapa rekening toko dan perusahaan, di antaranya rekening atas nama toko mainan, garmen, dan perusahaan ekspor ikan.
Ia menuturkan, KKP sudah menelusuri sumber dana itu dan telah memegang identitas pemilik rekening tersebut. ”Kami pun sudah tahu nama orang-orangnya. Namun, dia tak pernah masuk ke Indonesia,” kata Rina.
Pengepul di desa memiliki kemampuan modal yang besar karena mereka memperoleh suplai dana dari bandarnya di luar negeri.
Harga tinggi
Investigasi Kompas, pertengahan Mei lalu, di salah satu kawasan penangkapan dan penjualan benur, sepanjang pantai selatan Sukabumi, Jawa Barat, hingga Lebak, Banten, mengonfirmasi kemampuan pengepul menyerap berapa pun banyaknya benur dari nelayan.
RA (41), nelayan Desa Cikahuripan, mengaku, sebelumnya nelayan tak pernah melirik benur lobster karena tak ada yang membeli. Namun, sejak empat tahun terakhir, banyak permintaan benur dari pengepul. Harganya pun tinggi sehingga nelayan berlomba-lomba menangkap benur.
Pengepul membeli benur dengan harga Rp 7.000 per ekor untuk benur lobster pasir (Panulirus homarus) dan Rp 40.000 untuk benur lobster mutiara (Panulirus ornatus).
Setelah ditampung pengepul, benur diselundupkan ke luar negeri. Harganya pun naik berkali lipat.
Saat menelusuri aktivitas pengepul benur di pantai Binuangeun, Lebak, Kompas bertemu dengan salah seorang pengepul berinisial IW. Awalnya IW tak mengaku bahwa dirinya pengepul. Saat itu, ia kedapatan membayar tunai pembelian 50 benur lobster jenis pasir dari nelayan berinisial HH. Jual-beli benur dilakukan di dapur salah satu warung di pantai itu.
Meskipun bersikap ramah, IW enggan mengungkap identitasnya sebagai pengepul. Bahkan, ia menyebutkan, benur lobster dilarang ditangkap. ”Menurut peraturannya, mah, anakannya (benur lobster) harus dibuang (dikembalikan ke laut) jika tertangkap,” ujarnya berdalih.
Namun, dari penuturan HH, diperoleh informasi bahwa IW adalah pengepul benur lobster. Dari benur yang dijualnya, HH memperoleh Rp 350.000. ”Iya, itu barusan saya jual benur (kepada IW),” ujar HH.
Meluas
Praktik jual-beli benur di sepanjang pesisir selatan Sukabumi hingga Lebak relatif aman dari jangkauan aparat penegak hukum. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jabar Jafar Ismail mengatakan, penangkapan benur lobster di Jabar sulit dikendalikan. Penangkapan benur di pesisir selatan Jabar pun meluas.
”Kalau dulu di daerah Sukabumi, di Cisolok, sekarang meluas ke Cidaun (Cianjur), Garut, dan merembet ke Tasikmalaya bagian selatan,” ujar Jafar.
Menurut dia, salah satu langkah strategis memberantas jual-beli benur lobster adalah menangkap pengepul lokal yang ada di desa-desa nelayan. ”Pengepul menjual ke bandar. Mereka harus ditangkap,” kata Jafar.
Kepala Bidang Humas Polda Banten Ajun Komisaris Besar Edy Sumardi mengungkapkan, perlu ada unsur edukasi terhadap nelayan bahwa benur lobster dilarang dieksploitasi untuk menjaga kelestariannya. Edukasi itu, lanjutnya, harus dilakukan pemerintah.
Perlu ada unsur edukasi terhadap nelayan bahwa benur lobster dilarang dieksploitasi untuk menjaga kelestariannya.
Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko pun menyampaikan, perlu ada operasi terpadu, sekaligus mencari jalan keluar terkait alih profesi yang bisa ditekuni nelayan setelah meninggalkan penangkapan benur lobster.
”Makanya perlu ada peran pemerintah memberikan sosialisasi agar para penangkap benur beralih profesi,” ujarnya.