Tingkatkan PNBP, Pemerintah Seleksi dan Sederhanakan 39.704 Tarif Tak Aktif
›
Tingkatkan PNBP, Pemerintah...
Iklan
Tingkatkan PNBP, Pemerintah Seleksi dan Sederhanakan 39.704 Tarif Tak Aktif
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan akan menyederhanakan jumlah dan jenis tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Sejauh ini terdapat 71.752 tarif PNBP, tetapi sekitar 55 persennya atau 39.704 tarif tercatat tidak aktif. Padahal jika diseleksi dan disederhanakan, sebagian besar tarif yang tidak aktif itu sebenarnya potensial untuk meningkatkan PNBP.
Mengutip data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tarif PNBP di 45 kementerian/ lembaga per tahun 2017 berjumlah 71.752 tarif. Dari total jumlah itu sebanyak 32.048 tarif masih aktif dipungut (45 persen) dan 39.704 tarif tidak aktif (55 persen). Setoran PNBP sebagian besar hanya berasal dari 8 kementerian/lembaga.
Kedelapan kementerian/lembaga tersebut, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kepolisian RI, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Rata-rata setoran PNPB kementerian/lembaga itu di atas Rp 2 triliun per tahun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, Kemenkeu akan mengevaluasi jenis dan tarif PNBP. Sebagian besar tarif PNBP tercatat tidak aktif karena berbagai hal. Misalnya, tarif PNBP dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang atau kegiatan yang akan dikenai PNBP sudah tidak dilakukan.
“Ini menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintah untuk memetakan mana saja pos tarif yang harus dijaga dan disederhanakan,” kata Suahasil seusai rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Sebagian besar tarif PNBP tercatat tidak aktif karena berbagai hal. Misalnya, tarif PNBP dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang atau kegiatan yang akan dikenai PNBP sudah tidak dilakukan.
Menurut Suahasil, penyederhanaan jenis dari tarif mengacu Undang-undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP. Nantinya, akan dibuat aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) terkait perbaikan tata kelola PNBP di setiap kementerian/lembaga. Proses penyederhanaan dilakukan secara bertahap mulai tahun ini.
Penyederhaan jumlah dan tarif PNBP sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dan optimalisasi aplikasi e-PNBP. Strategi yang akan diterapkan pada setiap kementerian/lembaga berbeda tergantung besaran dan jenis kontribusinya terhadap penerimaan negara. Dalam APBN, PNBP terbagi menjadi dua kelompok, yakni berasal dari sumber daya alam dan pelayanan.
“Selama ini tarif PNBP akan diteruskan kalau penerimaan bagus, tetapi kalau tidak ditinggalkan begitu saja. Masalah itu yang akan diperbaiki,” kata Suahasil.
Selama ini tarif PNBP akan diteruskan kalau penerimaan bagus, tetapi kalau tidak ditinggalkan begitu saja. Masalah itu yang akan diperbaiki.
Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi PNBP per Mei 2019 ialah Rp 158,4 triliun atau 41,9 persen dari pagu APBN 2019. Penerimaan perpajakan pada Mei 2019 tumbuh 8,6 persen dibandingkan Mei 2018. Padahal, pada Mei 2018, PNBP tumbuh 18,1 persen ketimbang Mei 2017.
Optimalisasi PNBP
Selain penyederhanaan tarif dan jumlah, optimalisasi PNBP ditempuh melalui sinergi program internal Kemenkeu antara Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Anggaran. Sinergi itu meliputi 8 program meliputi analisis, audit, investigasi, dan program lain terkait kemudahan layanan wajib pajak.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, sinergi di internal Kemenkeu penting untuk membangun ekosistem kepatuhan sehingga pendapatan negara ikut terkerek naik. Sinergi melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran untuk pencatatan dan pengawasan terkait PNBP. Layanan untuk wajib bayar PNBP akan dimudahkan.
Salah satu sasaran dari sinergi program, yaitu Kemenkeu akan menambah daftar sasaran analisis bersama sebanyak 3.390 wajib pajak dan wajib bayar PNBP tahun 2019. Selain itu, dilakukan pula pemblokiran akses kepabeanan bagi wajib pajak yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Kebijakan ini bagian dari upaya memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Mardiasmo.
Secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, reformasi perpajakan mutlak dilakukan untuk menarik investasi. Kendati pemerintah mengklaim sudah ada berbagai reformasi, tetapi aspek yang harus diperbaiki masih banyak salah satunya kemudahan membayar pajak.
Kendati pemerintah mengklaim sudah ada berbagai reformasi, tetapi aspek yang harus diperbaiki masih banyak salah satunya kemudahan membayar pajak.
Sistem pembayaran pajak yang belum ramah bagi pelaku usaha turut berperan dalam menarik investasi. Dalam Laporan Bank Dunia tentang Kemudahan Berbisnis 2019, Indonesia menempati peringkat 112 dari 190 negara dalam urusan pembayaran pajak.