Bank Indonesia berkomitmen untuk selalu menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial yang akomodatif diyakini juga dapat membantu perbankan mengoptimalkan penyaluran kredit.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia berkomitmen untuk selalu menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial yang akomodatif diyakini juga dapat membantu perbankan mengoptimalkan penyaluran kredit.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung di hadapan puluhan mahasiswa dan blogger dalam acara bertajuk ”Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan” di Jakarta, Rabu (26/6/2019).
Acara yang digelar BI ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebijakan makroprudensial serta bentuk implementasi kebijakan tersebut dalam rangka menjaga kondisi ekonomi yang stabil.
Juda menuturkan, proses keluarnya kebijakan makroprudensial dimulai sejak tahap awal, yakni pemetaan dan pemantauan risiko, hingga berlanjut ke tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan berikut implementasinya.
”Tahap terakhir adalah evaluasi untuk mengetahui seberapa efektif dari implementasi kebijakan yang BI pilih terhadap stabilitas sistem keuangan,” ujarnya.
Secara garis besar, lanjut Juda, kebijakan makroprudensial akan ditempuh ketika muncul risiko gangguan stabilitas sistem keuangan yang berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah.
Sebagai contoh, pada pertengahan 2012 bank sentral mulai menerapkan kebijakan makroprudensial berupa penetapan rasio uang muka terhadap total aset properti (loan to value/LTV).
Kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Rasio ini memperlambat laju peningkatan konsentrasi risiko kredit sektor properti serta mendorong bank menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
Selanjutnya pada 2015, pelonggaran rasio LTV dilakukan untuk mendorong pertumbuhan kredit. Sayangnya, pertumbuhan kredit tahunan sejak 2015 hingga 2018 tidak pernah melebihi kisaran 12 persen-13 persen.
”Dalam 3-4 tahun ke depan, kebijakan makroprudensial akan tetap akomodatif sehingga rasio kredit terhadap PDB (produk domestik bruto) dapat bergerak ke angka 40 persen hingga 45 persen,” ujar Juda.
Dengan besaran rasio kredit terhadap PDB tersebut serta asumsi PDB Indonesia pada 2023 akan mencapai 6 persen, menurut Juda, pertumbuhan penyaluran kredit pada tahun tersebut dapat mencapai 15-16 persen secara tahunan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit perbankan hingga akhir Maret 2019 tumbuh positif mencapai 11,55 persen dibandingkan dengan Maret 2018. Adapun dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 7,18 persen dibandingkan dengan posisi Maret 2018.
Selain LTV, bentuk lain instrumen makroprudensial yang ditelurkan BI di antaranya pelonggaran rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dengan tujuan mendorong fungsi intermediasi perbankan. Selain itu, BI juga menelurkan kebijakan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) yang bersifat countercyclical untuk mengatasi risiko pengetatan likuiditas perbankan.
Kebijakan pelonggaran terbaru adalah pemangkasan rasio giro wajib minimum (GWM) rupiah. BI mengompensasi tertahannya suku bunga acuan di level 6 persen dengan menurunkan GWM sebesar 50 basis poin menjadi 6 persen untuk bank umum dan 4,5 persen untuk bank syariah.
”Kebijakan ini akan mampu menambah likuiditas perbankan hingga Rp 25 triliun. Dari pelonggaran likuiditas ini, kami akan dorong perbankan menyalurkan kredit ke sektor produktif, seperti industri pariwisata,” ujarnya.
BI mengompensasi tertahannya suku bunga acuan di level 6 persen dengan menurunkan GWM sebesar 50 basis poin menjadi 6 persen untuk bank umum.
Dalam waktu dekat, Juda mengatakan, otoritas moneter belum akan menelurkan instrumen kebijakan makroprudensial baru. Namun, dia menegaskan setiap instrumen makroprudensial yang dibuat akan disesuaikan dengan situasi dan ekonomi terkini.
Suku bunga
Kepala analis ekuitas Asia-Pasifik HSBC Global Research Herald van der Linde menilai, pemangkasan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, sebesar 25 basis poin dapat menciptakan ruang kebijakan moneter yang lebih akomodatif di seluruh Asia.
”Ruang kebijakan moneter di Asia, terutama regional Asia Tenggara, akan semakin terbuka untuk lebih akomodatif. Terlebih, ketidakpastian pemilu di sejumlah negara ASEAN sudah berlalu,” ujarnya.
Sayangnya, dilansir dari Bloomberg, The Fed melenyapkan ekspektasi pasar untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada Juli nanti. Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan independensi bank sentral yang tak akan terpengaruh dengan tekanan Presiden AS Donald Trump dan pelaku pasar.
Pelaku pasar saat ini menanti kabar baik dari pertemuan Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela pertemuan G-20 di Jepang. Jika kedua belah pihak menemui kesepakatan terkait sengketa dagang, perekonomian global diharapkan kembali bergairah.