Setelah terhenti selama empat bulan, pelayaran perintis dari Pulau Ambon dan Seram ke tiga pulau di tengah Laut Banda, yakni Teon, Nila, dan Serua ,akhirnya kembali beroperasi. Warga diangkut menggunakan KM Sabuk Nusantara 71 untuk menggantikan KM Sabuk Nusantara 87 yang rusak. Warga berharap kondisi semacam itu jangan sampai terulang kembali.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Setelah terhenti selama empat bulan, pelayaran perintis dari Pulau Ambon dan Seram ke tiga pulau di tengah Laut Banda, yakni Teon, Nila, dan Serua, akhirnya kembali beroperasi. Warga diangkut menggunakan KM Sabuk Nusantara 71 untuk menggantikan KM Sabuk Nusantara 87 yang rusak. Warga berharap kondisi semacam itu jangan sampai terulang kembali.
”Setelah menunggu lama, warga yang hendak panen cengkeh di TNS (Teon, Nila, dan Serua) akhirnya bisa berangkat pagi tadi,” kata tokoh pemuda dari paguyuban Teon Nila Serua yang menghubungi Kompas di Ambon pada Rabu (26/6/2019). KM Sabuk Nusantara 71 mengangkut para petani cengkeh dan buruh panen itu dari Pelabuhan Amahai, Pulau Seram.
Dari Amahai, kapal akan berlayar terlebih dulu menuju Pulau Serua dengan jarak tempuh 220 mil laut, kemudian ke Nila (45 mil laut), dan selanjutnya ke Teon (20 mil laut). Waktu tempuh dari Amahai ke Serua sekitar 24 jam, kemudian ke Nila sekitar 7 jam, dan ke Teon sekitar 4 jam. Selanjutnya kapal berlayar ke Pulau Bebar dan kembali lagi melewati rute yang sama.
Buruh panen
Penumpang yang berangkat dari Pulau Seram itu merupakan petani cengkeh dan buruh panen. Mereka ke tiga pulau itu untuk memanen cengkeh yang sudah matang sejak Mei lalu. Diperkirakan sudah banyak cengkeh yang rusak karena terlambat panen. ”Mungkin masih ada yang bisa dipanen. Petani lagi butuh uang untuk biaya pendidikan anak,” ujar Dion.
Pulau Teon, Nila, dan Serua, yang kini menjadi kebun warga, itu dulunya merupakan permukiman penduduk. Tahun 1978, warga di tiga pulau itu yang berjumlah lebih kurang 5.000 jiwa diminta mengosongkan pulau. Pemerintah beralasan, tiga pulau itu rawan bencana gunung api, gempa, dan tsunami. Warga lalu dipindahkan ke Pulau Seram, pulau terbesar di Maluku.
Mungkin masih ada yang bisa dipanen. Petani lagi butuh uang untuk biaya pendidikan anak.
Sejak tahun 1978 belum terjadi bencana yang merusak atau memakan korban jiwa. Meski begitu, baik di darat maupun di dasar laut dekat tiga pulau itu terdapat gunung api. Pada Senin (24/6/2019), di dekat tiga pulau itu terjadi gempa dengan magnitudo 7,4. Sejauh ini belum ada laporan kerusakan atau korban jiwa. Komunikasi ke tiga pulau itu menggunakan radio single-side-band.
Mengisi rute
Kepala Kesekretariatan Perusahaan PT Pelni Yahya Kuncoro melalui keterangan pers yang dikirim kepada Kompas mengatakan, KM Sabuk Nusantara 71 akan mengisi rute tersebut hingga KM Sabuk Nusantara 87 kembali beroperasi pada minggu terakhir Juli mendatang. KM Sabuk Nusantara 87 yang mengalami patah kemudi itu sudah diperbaiki dan dilanjutkan dengan perawatan tahunan.
Yahya mengatakan, saat ini Pelni mengoperasikan delapan kapal perintis di Maluku. Di pelabuhan pangkalan Ambon terdapat lima kapal dan di Saumlaki terdapat tiga kapal. Secara nasional, Pelni mengoperasikan 46 kapal perintis. Selain Pelni, sebagian pelayaran perintis diserahkan kepada swasta.
Ketua Komisi C DPRD Maluku Anos Yeremias berharap agar pemerintah pusat dan operator lebih serius memperbaiki tata kelola pelayaran perintis di Maluku. Terhentinya pelayaran perintis di Maluku yang berlangsung berbulan-bulan bukan baru terjadi kali ini. Padahal, pelayaran perintis merupakan urat nadi transportasi laut di provinsi yang terdiri atas 1.340 pulau itu.
Menurut Anos, jika pelayaran perintis dioperasikan dengan baik, ekonomi di pulau-pulau dapat tumbuh. Selain sebagai penghasil rempah, wilayah kepulauan Maluku kaya akan hasil laut. Sayangnya, masyarakat di pulau-pulau kesulitan memasarkan komoditas mereka karena kesulitan transportasi.