Konsumsi Terus Naik, Belanja Subsidi Bisa Melampaui Pagu APBN 2019
›
Konsumsi Terus Naik, Belanja...
Iklan
Konsumsi Terus Naik, Belanja Subsidi Bisa Melampaui Pagu APBN 2019
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi belanja untuk subsidi bahan bakar minyak dan elpiji diproyeksikan melebihi pagu APBN 2019. Kendati harga minyak dunia dan kurs rupiah masih di bawah batas aman asumsi makro, tetapi konsumsi energi bersubsidi terus meningkat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, yang dikutip Rabu (26/6/2019), realisasi konsumsi BBM bersubsidi per April 2019 sebesar 5,07 juta kiloliter atau 35 persen dari target APBN 2019. Adapun konsumsi elpiji sebesar 2,2 miliar kilogram atau 31,5 persen dari target. Konsumsi elpiji rata-rata naik 5 persen per tahun.
Sementara itu, realisasi belanja subsidi BBM dan elpiji per Mei 2019 sebesar Rp 23,5 triliun atau 23,4 persen dari total pagu belanja subsidi BBM dan elpiji APBN 2019 yang sebesar Rp 100,6 triliun. Realisasi belanja Mei 2019 menurun 22,6 persen dibandingkan Mei 2018. Hal itu karena harga minyak dunia dan kurs rupiah masih di bawah batas aman asumsi makro APBN 2019, yakni masing-masing 70 dollar AS per barel dan Rp 15.000 per dollar AS.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah memantau secara intensif pergerakan realisasi subisidi baik dari aspek realisasi belanja maupun konsumsinya. Sejauh ini kemungkinan besar konsumsi BBM dan elpiji bersubsidi melebihi kuota yang ditetapkan.
“Konsumsi BBM dan elpiji bersubsidi sampai bulan keempat, April, tahun ini sudah mencapai satu per tiga dari target. Jadi itulah yang kita perhatikan terus,” kata Suahasil seusai rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta.
Suahasil mengatakan, realisasi belanja subsidi sangat dipengaruhi harga minyak dunia, kurs rupiah, dan konsumsi masyarakat. Pada 2018, misalnya, realisasi belanja BBM dan elpiji bersubsidi mencapai Rp 91,07 triliun jauh lebih tinggi dari pagu APBN 2018 sebesar Rp 48,87 persen. Akibatnya, pemerintah menanggung kewajiban kurang bayar Rp 12,3 triliun.
Penyebab realisasi belanja subsidi meleset dari target karena rata-rata harga minyak dunia mencapai 67,5 dollar AS per barel lebih tinggi dari asumsi APBN 2018 sebesar 48 dollar AS dan depresiasi kurs rupiah menjadi Rp 14.260 per dollar AS lebih tinggi dari asumsi Rp 13.400 per dollar AS. Selain itu, konsumsi elpiji bersubsidi lebih tinggi 800 miliar kg dari target.
“Berarti kalau asumsi ekonomi makro dalam APBN bergerak maka risikonya ada di keuangan negara,” kata Suahasil.
Realisasi belanja subsidi sangat dipengaruhi harga minyak dunia, kurs rupiah, dan konsumsi masyarakat.
Sebelumnya, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menyoroti realisasi subsidi tahun 2018 yang melampaui pagu APBN. Selain karena harga minyak dunia dan kurs rupiah lebih tinggi dari asumsi, realisasi subsidi juga dipengaruhi penetapan harga jual bahan bakar minyak dan listrik yang di bawah harga keekonomian.
Kepala BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, persoalan realisasi belanja subsidi 2018 juga terkait harga jual bahan bakar minyak dan listrik yang ditetapkan pemerintah. Badan usaha diminta menjual bahan bakar di bawah harga keekonomian baik melalui skema subsidi maupun skema penugasan.
“Pemerintah dan DPR perlu membahas skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban yang tepat atas penetapan harga jual di bawah harga keekonomisan tersebut,” kata Moermahadi.
Selama ini belum ditetapkan standar akuntansi terkait dampak kebijakan pemerintah terhadap laporan realisasi anggaran badan usaha milik negara (BUMN). Standar akuntasi ini penting agar kebijakan pemerintah terutama tekait subsidi tidak dinilai membebani keuangan BUMN maupun kinerja APBN.
Pengendalian konsumsi
Suahasil mengatakan, penyaluran subsidi energi diupayakan lebih tepat sasaran kendati belum ada kesepakatan mengubah sistem dari subsidi terbuka menjadi tertutup. Untuk penyaluran elpiji bersubsidi, misalnya, pemerintah sedang melakukan uji coba sistem biometrik dan elektronik voucher. Uji coba dilakukan di 7 kota/kabupaten.
“Selama ini elpiji bersubsidi masih dikonsumsi oleh kelompok 10 persen penduduk terkaya. Kami akan terus melakukan evaluasi dan mencari sistem yang pas,” kata Suahasil.
Baca juga: Konsumsi Naik, Elpiji 3 Kg Dijamin Cukup
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah akan meningkatkan sinergi dalam rangka pengendalian dan pengawasan konsumsi BBM dan elpiji bersubisidi tepat volume dan tepat sasaran. Penyaluran subsidi juga akan diintegrasikan dengan program-program jaring pengaman sosial, seperti program keluarga harapan.
Selama ini elpiji bersubsidi masih dikonsumsi oleh kelompok 10 persen penduduk terkaya. Kami akan terus melakukan evaluasi dan mencari sistem yang pas.
Wakil Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengatakan, persoalan penyaluran subsidi tidak tepat sasaran sudah terjadi bertahun-tahun dan belum terselesaikan. Selama ini sudah disepakati sistem penyaluran subsidi harus tertutup, tetapi mekanisme pelaksanaan di lapangan belum ada. Pemerintah diminta membahas masalah penyaluran subsidi secara khusus dengan DPR RI.
“Setelah Nota Keuangan RAPBN 2020 akan dibahas agar subsidi itu pas sehingga tidak ada lagi kekurangan bayar subsidi, yang akhirnya kita bakar-bakar uang tidak pada tempatnya,” kata Said.