Tjiam Ay Lan menggusur rekor lama yang juga merupakan ukirannya sendiri. Rekor usang itu dia cetak setahun sebelumnya, 1968, pada usia 17 tahun. Waktu itu dia membukukan 1 menit 9,3 detik. Rekor pada nomor 100 meter gaya bebas putri tersebut dia asah 0,5 detik menjadi 1 menit 08,7 detik.
Dunia olahraga prestasi memang mengenal dua simbol kemenangan: medali dan rekor. Medali adalah markah keunggulan puncak yang kekal. Misalnya, Susy Susanti adalah juara tunggal putri bulu tangkis di Olimpiade Barcelona 1992. Namanya tertoreh dengan tinta emas sebagai peraih medali emas pertama bagi Indonesia di Olimpiade. Sampai kapan pun.
Sebaliknya, rekor merupakan lambang keutamaan yang fana. Ukiran 1 menit 08,7 detik Tjiam sebagai contoh, sudah lama terbenam dalam kitab sejarah renang Indonesia. Hanya sedikit orang yang masih mengingatnya.
Kini, generasi muda renang mengenal rekor putri di nomor itu sebagai milik Patricia Yosita Hapsari, 57,05 detik. Patricia, sarjana kinesiologi lulusan California Baptist University, Amerika Serikat, menorehkan rekor itu dua tahun silam saat berusia 24 tahun.
Rekor adalah sementara karena pada asasnya, dia ada untuk ditumbangkan. Untuk digantikan. Meski begitu, setiap atlet mencintai keduanya, medali dan rekor, seperti halnya setiap anak mencintai ayah dan ibunya.
Jika medali ada untuk diri si atlet itu sendiri, rekor lahir untuk generasi setelah dia. Dia sadar, kemajuan telah hadir ketika sebuah rekor tumbang. Itulah mengapa, sebesar apa pun pengorbanan yang telah seorang atlet lakukan untuk menciptakan sebuah rekor, dia akan bersukacita ketika rekornya dipatahkan.
Inilah pelajaran tentang kehidupan dari arena olahraga. Setiap orang dan setiap generasi dituntut untuk bisa mencapai prestasi dalam bidangnya setinggi mungkin. Karena hanya dengan itulah generasi setelahnya dapat mengukir prestasi yang lebih tinggi lagi. Dengan cara seperti itulah kemajuan sebuah bangsa terbentuk. (YNS)