Menjalin Kerukunan di Beranda Negeri
Warga yang bermukim di wilayah perbatasan RI dengan Timor Leste hidup berdampingan secara rukun. Konflik yang terjadi, seperti sengketa lahan, diselesaikan secara adat dengan mengedepankan kekeluargaan.
Udara sejuk yang mencapai 20 derajat celsius di Desa Haumeniana, Kecamatan Bikomi Nilulat, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, seakan menandakan kesejukan hubungan warga setempat dengan warga Timor Leste. Wilayah kedua negara di desa itu hanya dibatasi oleh satu-satunya akses di daerah itu, yaitu jalan tanah berbatu.
Mayoritas masyarakat Desa Haumeniana di Indonesia dan Desa Pasabe di Timor Leste memiliki hubungan kekeluargaan. Meskipun referendum pemisahan Timor Leste dari wilayah Republik Indonesia telah memasuki dekade kedua, tidak ada perbedaan mencolok dalam kehidupan mereka sehari-hari, kecuali status kewarganegaraan mereka yang berbeda.
Camat Bikomi Nilulat Marsel Sara mengungkapkan, dengan bermodal paspor, masyarakat di kedua desa yang berbeda negara sering beraktivitas antarnegara. Hal itu tidak bisa dihindari karena mayoritas masyarakat di kedua desa masih berkerabat. Ia mencontohkan, setiap akhir pekan, warga Desa Haumeniana ada yang datang ke Desa Pasabe untuk melaksanakan kebaktian, begitu juga sebaliknya.
Selain itu, perayaan keagamaan umat Kristiani dan upacara adat, seperti bakar lilin untuk anggota keluarga yang meninggal, dilakukan secara bersama-sama oleh warga kedua desa. Terkadang warga Desa Haumeniana yang ”menyeberang” ke Timor Leste, tetapi dalam banyak kesempatan warga Desa Pasabe yang mengunjungi keluarga di Indonesia.
Di luar aktivitas keagamaan dan adat, masyarakat kedua desa, yang berjarak sekitar 1 jam dari kota Kecamatan Kefamenanu, juga beraktivitas bersama, seperti aktivitas ekonomi dan olahraga. Kehadiran pasar desa hampir setiap pekan juga menjadi ajang pertemuan warga kedua negara. Tak hanya itu, warga desa, terutama anak muda, sering pula bermain sepak bola bersama di salah satu sudut bukit yang datar. Ketika beraktivitas bersama, mereka menggunakan bahasa daerah, yakni Dawan.
”Kami memang memiliki ideologi kebangsaan yang berbeda, tetapi persaudaraan tidak bisa dimungkiri. Kami sama-sama hitam, rambut kami juga keriting, jadi tidak ada perbedaan, he-he-he,” ujar Marsel, yang ditemui di sekitar Pos Perbatasan Haumeniana Satuan Tugas Tentara Nasional Indonesia Pengamanan Perbatasan Yonif Mekanis 741/Garuda Nusantara, Jumat (21/6/2019).
Meskipun hidup rukun, ancaman konflik bagi masyarakat kedua desa itu tetap ada. Masalah yang telah berlangsung hampir 20 tahun ialah sengketa lahan, salah satunya di wilayah Manusasi, Kecamatan Miomaffo Barat, Timor Tengah Utara.
Menurut Januario Netti (55), tokoh adat di Miomaffo Barat, permasalahan lahan tak bisa dimungkiri sering menjadi kendala di warga di kedua negara. Ia mengungkapkan, kehadiran hewan ternak di tanah sengketa menjadi masalah sehingga terkadang ada gesekan warga kedua negara. Namun, seiring kuatnya hubungan kekeluargaan, masalah itu pun telah diselesaikan melalui kesepakatan adat untuk mengembalikan hewan ternak sesegera mungkin ketika melewati batas negara.
”Komunikasi dan pendekatan adat menjadi cara kami menyelesaikan permasalahan yang melibatkan perbedaan kedua negara. Kami bersyukur rasa kekeluargaan yang masih kuat dapat menghindari konflik meluas,” kata Januario, yang kedua orangtuanya memilih untuk menjadi warga negara Timor Leste.
Tantangan
Memasuki dekade kedua perpisahan Timor Leste (dahulu Timor-Timur) dari Indonesia, para tetua dan tokoh adat di perbatasan itu menyadari akan munculnya tantangan kerukunan yang disebabkan perkembangan teknologi dan generasi muda. Ancaman di balik meluasnya penggunaan media sosial juga disadari oleh Januario seiring makin banyaknya penyebaran berita bohong di jejaring sosial tersebut. Adapun bagi generasi muda, kerukunan dikhawatirkan bakal memudar karena mereka tidak pernah merasakan hidup satu ”atap” negara dengan sanak keluarga di Timor Leste.
Atas dasar itu, Januario menuturkan, para tokoh masyarakat berupaya selalu mengikutsertakan anak muda dalam kegiatan yang melibatkan masyarakat kedua negara. Misalnya, mulai dari upacara adat hingga perayaan Natal.
Marsel mengungkapkan, setelah melaksanakan ibadah kebaktian, pihaknya bersama pemuka agama mengajak generasi muda mengunjungi keluarga mereka di Desa Pasabe.
Acara ini dilengkapi dengan makan sirih dan minum sopi (minuman keras khas NTT). Menurut Marsel, pendekatan kekeluargaan dan adat menjadi langkah yang paling ampuh untuk menjamin kerukunan di wilayah perbatasan itu.
”Kami juga tidak membatasi anak muda yang ingin menikah dengan warga Timor Leste. Para tetua dan pemuka adat ingin menunjukkan bahwa warga Indonesia dan Timor Leste adalah satu keluarga adat sehingga tidak ada batasan interaksi bahkan pernikahan di antara warga kedua negara banyak dilakukan generasi muda,” tutur Marsel.
Sersan Kepala Benjamin Ka Neno, Wakil Komandan Pos Perbatasan Kepolisian Timor Leste di Pasabe, mengatakan, petugas perbatasan kedua negara selalu mengakomodasi seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat. Interaksi masyarakat yang intensif menjadi syarat berharga untuk menjamin keharmonisan di wilayah perbatasan. Ia menyatakan, selama ini tak ada konflik atau permasalahan berarti bagi warga kedua desa itu meskipun memiliki status kewarganegaraan berbeda.
Bantuan
Komandan Satgas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste Yonif Mekanis 741/GN Sektor Barat Mayor (Inf) Hendra Saputra menjelaskan, kebijakannya dalam delapan bulan bertugas menitikberatkan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat perbatasan. Oleh karena itu, satgas melaksanakan sejumlah program prioritas, seperti bedah rumah warga, pembangunan sumur resapan, bantuan bahan pokok, taman baca dan pendidikan baca tulis, serta posko kesehatan dan bantuan obat gratis.
Berbagai kegiatan itu, lanjutnya, membuat hubungan antara TNI dan warga perbatasan makin baik. Hal itu ditunjukkan dengan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan yang diinisiasi personel TNI. Warga bahkan secara sukarela menyerahkan senjata api dan amunisi yang dimiliki ketika konflik antara di Timor Timur masih berlangsung.
”Masyarakat telah menyerahkan 102 puncuk senjata api dan 1.607 butir amunisi yang dulu digunakan ketika konflik masih berkecamuk. Hasil ini tidak akan bisa terjadi tanpa pendekatan intens terhadap masyarakat,” ujar Hendra. Satgas Pamtas Yonif Mekanis 741/GN Sektor Barat memiliki 21 pos perbatasan di tiga kabupaten, yakni Timor Tengah Utara, Kupang, dan Malaka.
Komandan Kodim 1618/Timor Tengah Utara Letnan Kolonel (Arm) Roni Junaidi menyambut baik kegiatan satgas yang akan memasuki masa purnatugas akhir Juli. Keterbatasan anggota Kodim 1618/TTU yang hanya berjumlah 20 orang bisa ditutupi dengan anggota satgas yang berjumlah 400 orang.
”Kami membantu satgas berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Satgas yang didominasi personel muda bisa mengimplementasikan program penuh terobosan yang bermanfaat bagi masyarakat,” kata Roni.
Akhirnya, kerukunan masyarakat dua negara di perbatasan jadi syarat mutlak untuk mewujudkan kondisi keamanan yang kondusif di beranda negeri. Meski berbeda kewarganegaraan, sesungguhnya setiap insan bersaudara sebagai makhluk Sang Pencipta….