Indonesia belum memiliki pedoman pariwisata halal, sementara negara-negara non-Muslim, seperti Jepang, Korea, dan China, sudah memiliki standar wisata halal.
Oleh
Maria Clara Wresti
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedoman Pariwisata Halal dibutuhkan untuk mengembangkan pariwisata halal. Indonesia belum memiliki pedoman itu sehingga pengembangan pariwisata dirasa belum maksimal dan belum standar.
Pedoman yang sedang disusun Kementerian Pariwisata ini bukan menjadi keharusan, melainkan sebagai pedoman bagi siapa saja yang ingin mengembangkan wisata halal.
”Pedoman ini sangat penting karena diperlukan untuk mendapatkan sertifikasi halal. Sementara, sertifikasi halal dibutuhkan wisatawan Muslim karena akan membuat mereka lebih nyaman dan tenang dalam menikmati wisatanya,” kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin dalam Pra Konvensi Pedoman Pengembangan Pariwisata Halal di Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Menurut Amin, MUI bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, mengembangkan sistem halal di Indonesia dengan slogan ”Halal is My Life”.
”MUI melakukan sertifikasi halal pada makanan dan minuman serta mengawasi keuangan syariah dan rumah sakit. Sekarang kebutuhan muncul di pariwisata. Kalau kita tidak mampu menarik wisatawan, berarti kita belum mampu menjual apa yang kita miliki. Padahal, kita negara berpenduduk Muslim terbesar dengan destinasi pariwisata yang sangat baik,” kata Amin.
Standar wisata halal ini dilakukan pada makanan dan minuman, hotel, biro perjalanan, dan spa. Standar halal harus dimiliki Indonesia karena negara-negara non-Muslim, seperti Jepang, Korea, dan China, sudah memiliki standar wisata halal. Mereka sudah melihat potensi pasar yang sangat besar dari wisatawan Muslim global.
Ia menjelaskan, di dunia pariwisata, sertifikasi halal hanyalah penyempurna. Dengan demikian, semua aspek pariwisata harus dibenahi, mulai dari regulasi, kelembagaan, hingga destinasi. Setelah itu, disempurnakan dengan sertifikasi halal.
”Konvensi untuk menyusun pedoman ini akan mempercepat perkembangan wisata halal di Indonesia. Menunjang pariwisata menjadi penyumbang devisa paling besar di luar migas,” kata Amin.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menyampaikan, konvensi yang akan diselenggarakan bulan depan ini menjadi bagian dari peta jalan membangun pariwisata halal di Indonesia.
”Kami membuat pedoman, bukan peraturan, sehingga sifatnya tidak wajib. Pedoman ini penting karena selama ini kita tidak punya standar. Untuk destinasi yang menjadi unggulan untuk pariwisata halal, juga bukan kami yang menunjuk, melainkan mereka yang mengajukan diri,” ujarnya.
Upaya memperbanyak daerah yang menerapkan wisata halal juga dilakukan melalui kompetisi. Kompetisi dibuat untuk daerah-daerah yang menyiapkan wisata halal atau ramah Muslim. Dari kompetisi itu, Provinsi Riau mempunyai nilai tinggi, kendati dia tidak termasuk dalam 10 destinasi pariwisata halal yang sedang dikembangkan.