Kementerian Keuangan berencana menyederhanakan jumlah dan jenis tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Penyederhanaan itu sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dan optimalisasi aplikasi e-PNBP.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan berencana menyederhanakan jumlah dan jenis tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Penyederhanaan itu mengacu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dan optimalisasi aplikasi e-PNBP.
Akan tetapi, penyederhanaan mesti mencakup pengawasan agar tidak ada lagi kebocoran penerimaan. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Selasa (25/6/2019), berpendapat, perbaikan tata kelola PNBP sebaiknya tidak hanya berorientasi meningkatkan penerimaan.
Evaluasi ditempuh agar prosedur administrasi lebih efisien sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat. ”Harmonisasi kebijakan antara kementerian/lembaga seharusnya bisa selesai setahun. Namun, tidak menutup kemungkinan ada keberatan dari segelintir pihak,” kata Prastowo.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mencatat, tarif PNBP di 45 kementerian/lembaga pada 2017 berjumlah 71.752 tarif. Rinciannya, 32.048 tarif masih aktif dipungut (45 persen) dan 39.704 tarif tidak aktif (55 persen) antara lain karena tarifnya dianggap tidak relevan lagi.
Setoran PNBP sebagian besar berasal dari delapan kementerian/lembaga, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika; Kepolisian RI; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; dan Kementerian Perhubungan. Rata-rata setoran PNPB kementerian/lembaga itu di atas Rp 2 triliun per tahun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, penyederhanaan itu sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dan optimalisasi aplikasi e-PNBP. Strategi yang akan diterapkan berbeda pada setiap kementerian/lembaga sesuai besaran dan jenis kontribusinya terhadap penerimaan negara.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi PNBP per Mei 2019 mencapai Rp 158,4 triliun atau 41,9 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019. Penerimaan perpajakan pada Mei 2019 tumbuh 8,6 persen dibandingkan pada Mei 2018.
Secara terpisah, Kepala Peneliti Makroekonomi dan Finansial Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, reformasi perpajakan mutlak dilakukan untuk menarik investasi. Kendati pemerintah mengklaim sudah ada berbagai reformasi, aspek yang harus diperbaiki masih banyak. Salah satunya kemudahan membayar pajak. Sistem pembayaran pajak yang belum ramah bagi pelaku usaha turut berperan dalam menarik investasi.