Danau Limboto di Kabupaten Gorontalo terancam hilang menjadi daratan dalam beberapa tahun jika sedimentasi yang terus terjadi tidak diatasi. Semua pihak yang terlibat dalam revitalisasi danau kritis itu diimbau terus menjalankan tugasnya secara simultan serta berkoordinasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
GORONTALO, KOMPAS — Danau Limboto di Kabupaten Gorontalo terancam hilang menjadi daratan dalam beberapa tahun jika sedimentasi yang terus terjadi tidak diatasi. Semua pihak yang terlibat dalam revitalisasi danau kritis itu diimbau terus menjalankan tugasnya secara simultan serta berkoordinasi.
Kepala Hubungan Masyarakat Balai Wilayah Sungai Sulawesi II (BWSS II) Olden Winarto mengatakan, sejak 2012 hingga 2018, revitalisasi telah berlangsung dalam bentuk pengerukan dasar danau dan pembersihan eceng gondok. Dibangun pula 13 dam pengendali (sabo dam) di sungai-sungai yang bermuara di Danau Limboto seiring dengan pembuatan Kanal Tapodu serta pintu air sebagai jalur keluar air.
”Sedimentasi sulit diatasi karena ada kerusakan hutan sebagai daerah tangkapan air di daerah hulu. Akibatnya, lumpur selalu terbawa sungai. Upaya revitalisasi terus kami lakukan, tetapi tidak akan ada gunanya kalau tidak ada perbaikan di hulu,” kata Olden, Rabu (26/6/2019), di Gorontalo.
Catatan Kompas (2 Januari 2016), laju sedimentasi Danau Limboto mencapai 5.300 ton per tahun. Jika tak segera diatasi, diperkirakan dalam 5-10 tahun ke depan Danau Limboto akan lenyap menjadi daratan. Menurut dia, revitalisasi yang telah berlangsung selama 2012-2018 sedikit menurunkan laju menjadi sekitar 4.000 ton per tahun.
Sedimentasi sulit diatasi karena ada kerusakan hutan sebagai daerah tangkapan air di daerah hulu. Akibatnya, lumpur selalu terbawa sungai. Upaya revitalisasi terus kami lakukan, tteapi tidak ada guna kalau tanpa perbaikan di hulu.
Danau Limboto merupakan muara dari 23 sungai. Lima sungai di antaranya termasuk sungai besar, yaitu Sungai Bulota, Biyonga, Alopohu, Meloopu, dan Marisa. ”Sungai Alopohu adalah penyumbang sedimentasi terbesar, sepanjang tahun airnya selalu keruh karena sedimen. Kerusakan daerah tangkapan air terjadi di Kecamatan Tibawa dan Bongmeme,” kata Olden.
Karena kerusakan area tangkapan air, hanya dua sungai yang mengalirkan air saat musim kemarau seperti saat ini, yaitu Biyonga dan Alopohu. Satu-satunya jalur keluar air danau (outlet), yaitu Sungai Tapodu, tidak memiliki pintu air sehingga air danau terus keluar.
Menyulitkan nelayan
Akibatnya, volume air di Danau Limboto semakin sedikit dan menyulitkan nelayan mencari ikan. Sekitar 10 tahun lalu, kelima sungai besar masih membawa debit air sepanjang tahun.
Saat musim hujan, air sungai membawa sedimen yang terus mendangkalkan Danau Limboto. Daerah danau juga semakin menyempit, dari 7.000 hektar pada 1932 menjadi sekitar 2.500 hektar sekarang.
”Karena itu, semua kementerian dan lembaga yang terlibat revitalisasi danau harus menjalankan programnya sambil berkoordinasi. Percuma kami terus mengeruk dasar danau dan membangun sabo dam kalau tidak ada perbaikan di hulu ataupun di sepanjang daerah aliran sungai,” katanya.
Olden mencontohkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus segera menanam ulang hutan. Kementerian Pertanian juga diharapkan mengajak masyarakat bercocok tanam dengan agroforestry.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Gorontalo Budyanto Sidiqi mengatakan, 11 kementerian dan lembaga terlibat dalam revitalisasi Danau Limboto. Di tingkat provinsi, dibentuk Kelompok Kerja Revitalisasi Danau sebagai wadah koordinasi.
Karena itu, semua kementerian dan lembaga yang terlibat revitalisasi danau harus menjalankan programnya sambil berkoordinasi. Percuma kami terus mengeruk dasar danau dan membangun sabo dam kalau tidak ada perbaikan di hulu ataupun di sepanjang daerah aliran sungai.
Masalah di daerah hulu sungai tak luput dari perhatian utama. Budyanto mengatakan, pemerintah yang dimotori KLHK akan merehabilitasi hutan dan lahan seluas 12.000 hektar di hulu Daerah Aliran Sungai Limboto-Bone Bolango (DAS LBB). Hutan di sekitar DAS LBB merupakan daerah tangkapan air.
Bappeda juga mengoordinasi tugas pemerintah kabupaten dan kota hingga desa untuk mengawasi areal penggunaan lain (APL) di daerah penyangga hutan, terutama yang dijadikan lahan pertanian dengan kemiringan 30 persen. ”Kami minta pemerintah daerah menerapkan pertanian berbasis konservasi, salah satunya dengan cara agroforestry. Lahan-lahan pertanian itulah yang rawan menyebabkan sedimentasi,” katanya.
Libatkan masyarakat
Di sisi lain, aktivis lingkungan Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo M Djufryhard mengatakan, revitalisasi Danau Limboto juga harus melibatkan masyarakat. Sebab, ketidaktahuan masyarakat dalam menjaga danau tidak hanya menyebabkan pendangkalan, tetapi juga pencemaran.
”Beberapa warga buang air besar detergen, pupuk, di daerah aliran sungai, sementara sisa pakan ikan keramba juga mencemari danau serta membuat eceng gondok tumbuh subur. Pemerintah perlu mengajak masyarakat menjadikan sungai dan danau halaman depan rumah mereka, bukan halaman belakang,” katanya.
Meski demikian, Djufryhard menilai kontribusi masyarakat pada sedimentasi tidak lebih besar ketimbang pemerintah daerah. Alih fungsi di daerah tangkapan air menjadi ladang jagung, seperti di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango, merupakan program pemerintah.
Ia juga mendesak pemerintah segera menyelesaikan penjebak sedimen di sabo dam. Selama 2012-2018, BWSS II baru menyelesaikan 13 sabo dam di 13 sungai yang bermuara di Danau Limboto, menyisakan 10 sungai lain. ”Sedimen yang tertampung nantinya bisa dimanfaatkan masyarakat, misalnya untuk membuat peralatan rumah tangga, seperti tungku,” katanya.