Pemerintah Indonesia menargetkan bisa memenuhi 20 persen dari 345.150 kuota program kerja sama penempatan pekerja migran berketerampilan spesifik yang ditawarkan Jepang.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia menargetkan bisa memenuhi 20 persen dari 345.150 kuota program kerja sama penempatan pekerja migran berketerampilan spesifik yang ditawarkan Jepang. Rencana itu telah mempertimbangkan kemampuan dan kondisi tenaga kerja terampil yang tersedia.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri, seusai menandatangani memorandum kerja sama tentang pekerja berketerampilan spesifik berstatus residensi dan program pelatihan kerja, Selasa (25/6/2019), di Jakarta, menyampaikan hal tersebut.
”Sebagai negara pengirim (pekerja migran), program pekerja berketerampilan spesifik dengan status residensi adalah peluang. Para pekerja migran Indonesia yang berangkat bisa belajar budaya ketenagakerjaan dari Jepang, seperti produktivitas dan disiplin kinerja yang tinggi,” ujarnya.
Hanif memandang, dengan tawaran program kerja sama tersebut, Indonesia dipacu untuk memperkuat suplai kapasitas dan keterampilan tenaga kerja.
Memorandum kerja sama tentang pekerja berketerampilan spesifik berstatus residensi bertujuan melindungi pekerja terampil yang ingin bekerja ke Jepang dari perantara yang tidak bertanggung jawab. Semua informasi lowong kerja akan disebarluaskan melalui Kemnaker, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Kementerian Hukum Jepang, serta Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Jepang. Sistem penempatan tidak melalui agen atau perantara calo, tetapi memakai skema mandiri.
Jepang membuka kuota 345.150 orang sampai lima tahun mendatang. Pekerjaan terampil tersebut berasal dari 14 sektor industri, antara lain konstruksi, otomotif, perikanan, dan kesehatan. Pekerja migran berketerampilan yang berhasil mengikuti program itu akan dibayar sesuai standar upah minimum.
Hanif mengatakan, target mengambil 20 persen porsi dari kuota yang ditawarkan dapat diisi oleh pekerja migran Indonesia berketerampilan di sektor kesehatan dan perikanan.
”Sejak tahun 1993, Indonesia sudah mengirim tenaga kerja agar ikut magang pelatihan teknis di Jepang. Untuk mengambil porsi 20 persen, kami menyarankan, tenaga kerja yang sudah pernah atau sedang ikut magang ke Jepang agar ikut program penempatan pekerja berketerampilan spesifik,” ujarnya.
Hanif mengakui kendala utama penempatan pekerja migran adalah kemampuan berbahasa asing.
Kontribusi
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii mengklaim, saat ini terdapat sekitar 2.000 perusahaan Jepang di Indonesia. Perusahaan tersebut menyerap sekitar 5 juta tenaga kerja atau berkontribusi sekitar 10 persen terhadap lapangan kerja nasional.
Dia mengatakan, sampai sekarang, Pemerintah Jepang berusaha agar porsi pekerja lokal selalu dominan dibandingkan dengan pekerja berkewarganegaraan Jepang. Sekitar 95 persen pekerja yang bekerja di perusahaan Jepang di Indonesia berstatus warga negara Indonesia. Sisanya adalah warga negara Jepang.
Menurut Masafumi, kedua negara juga memiliki kerja sama penempatan pekerja migran, khususnya perawat dan perawat orangtua, sejak 2008. Pada 2008-2018, sebanyak 2.783 perawat dan perawat orang tua migran Indonesia ditempatkan di Jepang.
”Dalam program pekerja migran berketerampilan spesifik, kami menawarkan kerja sama ke sejumlah negara lain, seperti Myanmar, Filipina, dan Kamboja. Namun, Indonesia masuk dalam prioritas teratas kami karena Indonesia sedang memasuki masa populasi penduduk usia muda, ditambah lagi perekonomiannya pun sedang tumbuh,” katanya.
Pada saat bersamaan, Jepang mengalami persoalan serius terkait populasi penduduk tua. Setiap tahun, penurunan jumlah tenaga kerja terjadi. Oleh karena itu, Pemerintah Jepang berusaha mengatasi dengan menarik pekerja migran.
Lebih jauh, dia mengatakan, dalam beberapa kali pertemuan negara kelompok G-20, Indonesia diprediksi menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang besar. Akan tetapi, Indonesia sampai sekarang dinilai masih menghadapi persoalan kesenjangan kesejahteraan sosial. Kunci mengatasi permasalahan itu adalah memiliki sumber daya manusia yang kompeten.
”Jepang siap membantu Indonesia meningkatkan kapasitas keterampilan angkatan kerja Indonesia. Penandatanganan nota kerja sama pekerja berketerampilan khusus dan nota kesepahaman pemagangan adalah komitmen kami mendukung Indonesia. Jepang-Indonesia adalah big friends,” ujar Masafumi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing pada triwulan I-2019, realisasi penanaman modal asing Jepang ke Indonesia mencapai 1.133,6 juta dollar AS dengan jumlah proyek 1.527. Pencapaian itu membuat Jepang berada di urutan ketiga negara yang paling besar merealisasikan investasi asing.
Pengupahan
Kondisi ketenagakerjaan di dalam negeri diwarnai isu upah layak. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemnaker Soes Hindharno mengatakan, pembahasan revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No 78/2015 tentang Pengupahan belum berkembang di internal.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menceritakan, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menerima perwakilan serikat pekerja dan serikat buruh. Salah satu topik pembicaraan selama pertemuan adalah isu revisi PP No 78/2015.
Isu revisi berembus karena muncul keberatan tentang isi Pasal 44 PP No 78/2015. Pasal 44 mengatur kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Timboel, pasal ini meniadakan dialog sosial.
Alasan lainnya, metode perhitungan upah minimum pada pasal 44 tidak spesifik. Metode terdahulu, 60 komponen hidup layak dihitung dengan menyertakan survei pasar sehingga lebih obyektif. (MED)