Dewan Perwakilan Rakyat perlu membuka konsultasi publik secara luas sebelum merampungkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Substansi dari RKUHP itu sangat luas dan kompleks serta akan menyentuh wilayah privat yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Substansi dalam RKUHP juga berpotensi tumpang tindih dengan undang-undang lain yang mengatur soal tindak pidana khusus, misalnya delik soal korupsi, delik narkotika, dan delik pelanggaran HAM. Tindak pidana khusus itu sudah diatur dalam UU khusus pula.
Masih adanya kritik publik terhadap substansi RKUHP menandakan aspirasi publik belum diakomodasi DPR. Atau, DPR sudah mengakomodasi keberatan publik, tetapi perkembangan pembahasan pasal demi pasal tidak terkomunikasikan kepada publik sehingga publik masih memegang draf yang mungkin saja sudah berubah.
DPR pun tak perlu memaksakan RKUHP akan diselesaikan pada tanggal tertentu, seperti 17 Agustus 2019 atau 30 September 2019. DPR juga tidak perlu khawatir pembahasan RKUHP tidak rampung karena tidak bakal menimbulkan kekosongan hukum.
Memang harus diakui, DPR dan pemerintah yang bisa merampungkan pembahasan RKUHP akan tercatat dalam sejarah pada pembaruan hukum nasional. Hampir semua menteri kehakiman punya mimpi besar untuk bisa melahirkan RKUHP. Namun, buat apa target itu kalau RKUHP hanya akan melahirkan penolakan meluas dari masyarakat.
KUHP yang ada sekarang merupakan peninggalan kolonialis Belanda. Lebih dari satu abad bangsa ini dipayungi hukum kolonialis Belanda. KUHP berasal dari Wetboek van Strafrech voor Nederlandsch-Indie (1918) dan disahkan dengan UU Nomor 73 Tahun 1958. Situasi itu dapat dipahami, tetapi keberatan publik juga harus direspons.
Atas dasar itulah, konsultasi publik seluas mungkin diperlukan agar publik bisa ikut memberikan masukan terhadap substansi RKUHP. Dengan sistem komunikasi digital sekarang ini, DPR bisa saja mengunggah perkembangan terbaru pembahasan RKUHP. Pasal yang sudah disepakati di level Pansus, pasal apa yang masih menjadi keberatan elemen masyarakat. Dalam sistem digital sekarang ini, tidak ada kesulitan apa pun bagi DPR dan pemerintah untuk membuka kemajuan pembahasan RKUHP untuk bisa melibatkan publik.
Dalam sistem perwakilan, DPR memang mewakili rakyat. Karena itu, melakukan konsultasi dengan para pemilih adalah keniscayaan politik. Sebut saja catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dan Komnas HAM soal ancaman pidana pelanggaran HAM. UU Pengadilan HAM mencantumkan ancaman hukuman 10 tahun dan maksimal 25 tahun untuk pelaku pelanggaran HAM berat. Adapun RKUHP mencantumkan ancaman hukuman 5-20 tahun.
Potensi tumpang tindih yang bisa melemahkan pemberantasan korupsi juga tercantum dalam RKUHP. Padahal, masalah korupsi sudah tertera dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Masuknya delik korupsi dalam RKUHP bisa saja menggoyang eksistensi KPK yang memang tidak dimaui para elite politik.