Pekan lalu militer Iran menembak jatuh sebuah pesawat nirawak (drone) mata-mata milik Amerika Serikat. AS nyaris membalas dengan serangan militer sebelum akhirnya Presiden Donald Trump membatalkannya. Hingga sekarang tensi politik kedua negara itu pun kian memanas.
Penggunaan pesawat nirawak dalam operasi militer sudah lazim kita saksikan. Namun, akhir April lalu, di Ghana, ratusan pesawat nirawak yang diterbangkan memiliki misi berbeda: mengantarkan vaksin, darah, dan obat-obatan. Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tinggal mengirim pesanan kebutuhan alat kesehatan yang menipis melalui pesan singkat. Kemudian pesawat nirawak akan diterbangkan dari empat pusat distribusi ke fasilitas kesehatan dengan membawa alat-alat kesehatan pesanan, yang kemudian dijatuhkan dengan menggunakan parasut kecil.
”Idenya adalah empat pusat distribusi bisa mengirimkan ala-alat kesehatan hingga 600 kali penerbangan dalam sehari dan bisa ditingkatkan sampai 2.000 pengiriman sehari,” kata Seth Barkley, pimpinan eksekutif GAVI, sebuah organisasi nirlaba internasional dalam aliansi vaksin, seperti dikutip oleh Thomson Reuters Foundation, Rabu (24/4/2019).
Setiap pesawat nirawak diharapkan bisa tiba dalam waktu kurang dari 30 menit sehingga keperluan yang bersifat darurat, seperti kebutuhan anti bisa ular atau rabies, bisa cepat dilayani. Setiap pesawat nirawak mampu terbang otomatis dan bisa membawa hingga 1,8 kilogram muatan. Saat ini 12 vaksin rutin dan darurat, termasuk untuk demam kuning, polio, campak, meningitis, tetanus, serta 148 produk darah dan alat medis darurat lain, tersedia dan bisa sewaktu- waktu dikirimkan menggunakan drone.
Proyek pesawat nirawak untuk pelayanan kesehatan itu dikerjakan oleh Zipline, perusahaan robotik berbasis di California, AS. Proyek ini didesain bisa menjangkau 2.000 fasilitas kesehatan yang melayani 12 juta penduduk di negara-negara Afrika barat. Proyek itu didukung GAVI, Bill & Melinda Gates Foundation, serta sejumlah perusahaan, termasuk perusahaan kargo UPS dan raksasa farmasi Pfizer.
Zipline menyatakan, proyek serupa dalam skala yang lebih kecil juga telah berlangsung sejak 2016 di Rwanda. Sekitar 13.000 pengiriman sudah dilakukan. Sepertiga muatan yang dikirim adalah alat medis darurat yang dapat menyelamatkan nyawa pasien.
Proyek pesawat nirawak untuk keperluan media didesain bisa menjangkau 2.000 fasilitas kesehatan yang melayani 12 juta penduduk di negara-negara Afrika barat.
Hal serupa juga dilakukan National Innovation Center (NIC) di Nepal yang menghimpun anak muda lulusan universitas di sana. Mereka mengembangkan pesawat nirawak medis untuk kesehatan. Saat ini pesawat nirawak bisa membawa hingga 1 kg sampel darah atau sampel lain untuk dites di laboratorium dalam radius 2 kilometer.
”Pesawat nirawak ini didesain, dibuat, dan dirakit oleh anak-anak muda inovatif di laboratorium kami sehingga biayanya rendah,” kata Enter Mahabir Pun (63), pemimpin NIC.
Di Indonesia, dalam pernyataan tertulis, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sekaligus Koordinator Bidang Kesehatan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan, Prof Budu, mengatakan, Indonesia mungkin dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh Pemerintah Rwanda dan Ghana itu. Harapannya, inovasi ini bisa memperbaiki cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia yang berada di bawah Rwanda dan Ghana.
Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap anak usia 12-23 bulan menurun dari 59,2 persen (2013) menjadi 57,9 persen (2018). Artinya, dari sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan, sekitar 3,5 juta anak belum mendapatkan imunisasi lengkap. Jumlah ini hampir setara dengan separuh jumlah penduduk Singapura.
Terobosan pesawat nirawak medis bisa menjadi solusi inovatif atas kendala akses jarak dan waktu, ketersediaan obat di fasilitas kesehatan, juga membantu distribusi vaksin yang kadang terkendala tempat penyimpanan.