Konsep Hunian di Atas Atap Didorong Tidak Diteruskan
›
Konsep Hunian di Atas Atap...
Iklan
Konsep Hunian di Atas Atap Didorong Tidak Diteruskan
Konsep kompleks perumahan di atas bangunan dilegalkan sejauh sesuai dengan peruntukan atau tertera dalam rencana detail tata ruang. Namun, melihat kondisi polusi udara di Jakarta sekarang ini, konsep tersebut dianggap tidak tepat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/AYU PRATIWI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep kompleks perumahan di atas bangunan dilegalkan sejauh sesuai dengan peruntukan atau tertera dalam rencana detail tata ruang. Namun, melihat kondisi polusi udara di Jakarta sekarang ini, konsep tersebut dianggap tidak tepat. Ibu Kota lebih membutuhkan pembangunan ruang terbuka hijau di atas atap dibandingkan hunian.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Jakarta Heru Hermawanto, di Jakarta, Kamis (27/6/2019), mengatakan, salah satu contoh konsep kompleks perumahan di atas bangunan itu terjadi di atap (rooftop) pusat perbelanjaan Thamrin City. Bangunan tersebut legal karena secara peruntukan zonasi adalah karya perkantoran dan karya perdagangan (KKT-KPD).
”Bangunan itu, kan, dulu ada sebelum ada RDTR (rencana detail tata ruang). Dulu dikenal dengan peruntukan paling tinggi, KKT-KPD. KKT-KPD boleh untuk membangun komersial, apa saja boleh dibangun di situ,” ujar Heru.
Jika mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR, saat ini kawasan bangunan tersebut masuk dalam sub-zona campuran.
Konsep bangunan seperti itu tak hanya ada di pusat perbelanjaan Thamrin City, tetapi juga ada di Mall of Indonesia, Jakarta Utara. Di mal tersebut terbangun apartemen.
Dengan demikian, Heru menjelaskan, sertifikat yang dimiliki penghuni adalah sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. ”Strata title-nya disebut pakai Undang-Undang Rumah Susun. Di atas alas tanah bersama. Jadi, pemilik bangunan itu juga pemilik tanah nilai perbandingan proporsionalnya,” lanjutnya.
Menurut Heru, pembangunan hunian secara vertikal itu sudah menjadi konsep ke depan. Sebab, Jakarta ada persoalan keterbatasan lahan. ”Kami harus arahin vertikal karena tanah terbatas,” ucapnya.
Berizin
Secara terpisah, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Benny Agus Chandra menyampaikan, kompleks perumahan di atap Thamrin City itu telah mengantongi izin sejak tahun 2007. Izin mendirikan bangunan (IMB) kompleks perumahan itu menjadi satu dengan IMB pusat perbelanjaan Thamrin City.
”Saat ini sedang proses perpanjangan SLF (sertifikat laik fungsi). SLF pertama tahun 2010,” kata Benny.
Berdasarkan pantauan Kompas, nama perumahan di atap gedung mal Thamrin City adalah Perumahan Cosmo Park. Perumahan itu selesai dibangun pada 2006 dan terdiri dari sekitar 70 rumah dua tingkat dengan luas dasar hampir 200 meter persegi.
Berbagai sarana rekreasi disediakan, seperti kolam berenang, lintasan joging, dan taman. Selain kompleks perumahan, ada juga dua apartemen yang dibangun di atas Thamrin City, yakni Cosmo Residence dan Cosmo Mansion.
Assistant Vice President Marketing PT Agung Podomoro Land Zaldy Wihardja mengungkapkan, saat perumahan itu diluncurkan, satu rumah dijual seharga Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar. Kini harganya beberapa kali lipat lebih mahal, Rp 3 miliar-Rp 4 miliar.
Zaldy menjelaskan, kompleks perumahan Cosmo Park ketika dikembangkan saat itu menargetkan segmen pasar yang cukup unik, yakni masyarakat yang enggan bertempat tinggal di apartemen karena tidak nyaman dengan ketinggian dan luas apartemen yang cenderung lebih sempit daripada rumah biasa.
Selain itu, pihak pengembang juga ingin mengakomodasi masyarakat yang tidak mampu membeli rumah di pusat karena harganya yang terlalu tinggi, tetapi menginginkan area tempat tinggal yang luas. Beli rumah di atas gedung saat itu lebih murah daripada beli rumah biasa di atas tanah.
”Kami buat produk inovatif dari market yang kami garap itu. Jadi, kayak tinggal di apartemen, tetapi suasananya seperti rumah biasa. Ada tanah, biasa memelihara anjing, jemur baju. Ada garasinya pula. Persis kaya rumah, tapi di atas dengan pemandangan,” tutur Zaldy.
Ruang terbuka hijau
Sementara itu, Benny menyebutkan, secara teknis, penilaian terhadap struktur bangunan di Thamrin City telah melewati analisis pengkaji struktur bangunan. Bangunan itu dinyatakan aman digunakan untuk konsep campuran.
Namun, menurut Benny, lebih baik ke depan di Jakarta bagian atap dibangun ruang terbuka hijau (RTH). ”Kita masih perlu menggenjot RTH DKI,” ujarnya.
Pengamat tata kota Nirwono Joga berpendapat, pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah DKI saat ini adalah menciptakan RTH, bukan hunian. Oleh karena itu, seharusnya atap bangunan lebih difokuskan untuk pembangunan RTH, seperti dalam bentuk rooftop garden atau rooftop farming, tergantung dari kebutuhan penghuni gedung.
”Untuk itu, diperlukan ketegasan Pemda DKI untuk mengatur atap-atap bangunan gedung di Jakarta,” ucap Nirwono.
Lagi pula, lanjutnya, pembangunan kompleks perumahan di atas gedung bukan cara yang efektif dalam menggunakan lahan di pusat kota yang saat ini sudah sangat terbatas. Model hunian yang lebih ideal, menurut dia, berupa hunian vertikal, seperti apartemen atau rusun.
”Pembangunan perumahan seperti itu juga berpotensi mendapatkan kendala lain, seperti bagaimana jaringan utilitas saluran air bersih, air limbah, ketersediaan ruang terbuka hijau, dan penggunaan lahan yang boros atau tidak efisien,” tutur Nirwono.