Eskalasi perang dagang sementara mereda dengan disepakati gencatan senjata oleh Xi Jinping dan Donald Trump. Namun, dunia tetap waspa- da mencermati negosiasi AS-China.
Harapan tertinggi, sekaligus ketakutan terbesar masyarakat global, digantungkan pada pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang berlangsung di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Osaka, Jepang, akhir pekan lalu. Apa pun hasil yang dicapai pada pertemuan pemimpin dua perekonomian terbesar dunia dalam rangka mencari titik temu dari sengketa perang dagang yang kian memanas di antara keduanya akan sangat menentukan nasib perekonomian global ke depan.
Di satu sisi, kesediaan kedua tokoh untuk bertemu itu dibaca sebagai sinyal kuat keinginan keduanya menghindari eskalasi lebih jauh dari perang dagang, setelah mereka terlibat perang mulut panas, setelah kolapsnya negosiasi bilateral AS-China awal Mei.
Namun, dunia juga tak berani berharap terlalu banyak dicapainya kesepakatan penuh untuk menghentikan perang dagang pada pertemuan itu mengingat sangat lebarnya gap kepentingan kedua pihak, terutama dengan kuatnya tekanan politik dan industri dalam negeri mereka.
Menurut laporan Bloomberg, AS bersedia menunda pengenaan tarif terhadap produk ekspor senilai 300 miliar dollar AS dari China lainnya guna memberi waktu kepada negosiator kedua pihak menegosiasikan kesepakatan final. Saat ini, secara paralel, negosiator kedua pihak masih melanjutkan negosiasi melalui telepon.
AS memberi waktu hingga 1 Juli, sebelum dijatuhkannya tarif, jika kesepakatan gagal dicapai. Artinya, kita belum bisa bernapas lega. Kita belum lupa apa yang terjadi pada pertemuan Trump-Jinping sebelumnya di Argentina akhir 2018. Saat itu keduanya juga menyepakati gencatan senjata, untuk tiga bulan. Namun, awal Mei 2019, negosiasi buntu dan suhu perang kian memanas sehingga memunculkan guncangan serta ketidakpastian di pasar dan ekonomi global.
Tak adanya keinginan mengalah atau kekuatan pengimbang membuat tensi perang dagang yang bisa membahayakan ekonomi global berpotensi terus berlarut-larut. Sejumlah kalangan mengingatkan, kesepakatan yang gagal dicapai tidak hanya akan menuntun ke pelambatan ekonomi dunia, tetapi juga menyeret ke risiko resesi, bahkan krisis ekonomi global.
Ketegangan dua raksasa ekonomi itu menempatkan negara-negara lain dalam posisi kian terjepit. Sebagian besar dari mereka tak berani mengambil posisi berpihak karena khawatir langkah retaliasi dari pihak di mana ia memilih berseberangan. Uni Eropa dan Jepang mulai waswas akan jadi sasaran berikutnya kebijakan proteksionisme dan unilateralisme AS.
Situasi konstelasi ekonomi dan politik global yang tak sehat ini juga membahayakan ekonomi berkembang. Sejumlah negara, seperti Vietnam dan Malaysia, diuntungkan karena mampu mengambil manfaat dari situasi yang ada. Sebaliknya, negara berkembang lain, termasuk Indonesia, diingatkan untuk mengantisipasi kemungkinan dampak tak diinginkan.