Peternak Kian Tertekan, Kehadiran Data Neraca Ayam Mendesak
›
Peternak Kian Tertekan,...
Iklan
Peternak Kian Tertekan, Kehadiran Data Neraca Ayam Mendesak
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Akibat data yang tidak akurat, realisasi produksi berlebihan dan menekan harga di tingkat peternak. Oleh sebab itu, kehadiran data neraca ayam dibutuhkan agar proyeksi produksi dapat seimbang dengan kebutuhan nasional.
Produksi ayam pedaging atau ayam boiler nasional bermula dari impor bibit ayam galur murni (grandparent stock/GPS) berupa ayam umur sehari (day old chicken/DOC). "Pemerintah belum memiliki data akurat. Seharusnya, jumlah GPS dapat terukur untuk menentukan daging ayam yang dihasilkan," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi saat dihubungi, Kamis (27/6/2019).
Sugeng mengemukakan, indikasi kelebihan suplai ayam itu tampak dari harga di tingkat peternak yang tertekan. Harga ayam di tingkat peternak di sentra-sentra Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur mencapai Rp 8.000-Rp 10.000 per kilogram (kg).
Padahal, modal produksi peternak berkisar Rp 18.500 per kg. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen menyatakan, harga ayam di tingkat peternak sebesar Rp 18.000-Rp 20.000 per kg.
"Jika pemerintah memiliki data yang akurat, pertimbangan jumlah impor GPS dapat lebih sesuai dengan kebutuhan. GPS yang diimpor tersebut dikembangbiakkan dan menetaskan bibit induk ayam (parent stock/PS). PS menetaskan ayam pedaging untuk konsumsi (final stock/FS)," kata dia.
Jika pemerintah memiliki data yang akurat, pertimbangan jumlah impor bibit ayam galur murni atau GPS dapat lebih sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Sugeng, pengembangbiakkan GPS hingga menghasilkan FS membutuhkan waktu 20 bulan. Oleh sebab itu, kelebihan suplai ayam pedaging saat ini diduga merupakan imbas dari ketidaktepatan jumlah impor GPS pada 2017.
"Ketidaktepatan jumlah itu berpotensi bersumber dari proyeksi yang berdasarkan kebutuhan ayam per kapita per tahun dan dipukul rata secara nasional. Padahal, populasi PS dan FS seharusnya turut menjadi permintaan," kata Sugeng.
Sugeng mengemukakan, karakteristik kebutuhan ayam bersifat musiman secara tahunan sehingga tidak bisa dipukul rata. "Misalnya saat bulan Sura dan Sapar (berdasarkan penanggalan Jawa), permintaan daging ayam turun 20 persen dari angka normal (rata-rata). Saat Ramadhan-Lebaran dan akhir tahun, permintaan meningkat 20 persen," kata Sugeng.
Berdasarkan data yang dihimpun GOPAN dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, rata-rata permintaan ayam berkisar 60 juta ekor-63 juta ekor per minggu. Adapun produksi ayam mencapai 65 juta ekor-68 juta ekor per minggu.
Selain data neraca yang akurat, lanjut Sugeng, distribusi ayam dari peternakan hingga ke pedagang perlu ditopang dengan sistem rantai dingin. Artinya penyediaan sarana dan prasana pendingin daging ayam diperlukan mulai dari rumah potong hewan unggas (RPHU), pengangkutan daging ayam ke lokasi pemasaran, dan di lokasi pemasaran.
"Sistem rantai dingin itu penting untuk menyangga produksi ayam yang tidak terserap pada saat permintaan menurun. Rantai dingin tersebut mesti difasilitasi oleh integrator peternakan ayam besar," kata dia.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2017 pasal 12 menyebutkan, produksi ayam ras potong (livebird) dengan kapasitas produksi paling rendah 300.000 ekor per minggu wajib mempunyai RPHU yang memiliki fasilitas rantai dingin.
Meskipun harga di tingkat peternak rendah, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis pada Kamis (27/6), menyebutkan, rata-rata nasional harga daging ayam di tingkat konsumen Rp 32.800 per kg. Harga di Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua mencapai kisaran Rp 39.000 per kg-Rp 40.000 per kg.
Berdasarkan Permendag Nomor 96 Tahun 2018, harga acuan penjualan daging ayam di tingkat konsumen sebesar Rp 34.000 per kg.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Karyanto Suprih menyatakan, rendahnya harga di tingkat peternak mencerminkan kelebihan produksi terhadap permintaan di tingkat konsumen. Kemendag sudah memanggil pelaku usaha integrator peternakan untuk mengkaji permasalahan itu.
Pemerintah juga sudah meminta pelaku industri hotel, restoran, dan kafe untuk menyerap suplai ayam yang berlebih. "Kami juga sedang mengidentifikasi daerah-daerah yang harga di tingkat peternaknya anjlok dan daerah-daerah yang harga di tingkat konsumennya tinggi agar bisa didistribusikan," katanya.