Pada 17 Juni 2019, Jembatan Way Mesuji di Jalan Lintas Timur Sumatera, Kecamatan Simpang Pematang, Mesuji, Lampung, ambles. Dua truk bermuatan semen dan sawit terjebak di tengah jembatan.
Peristiwa ini membawa ingatan kita ke kejadian serupa di Jawa Timur. Pada 17 April 2018, Jembatan Cincin Lama yang menghubungkan Kabupaten Tuban dan Kabupaten Lamongan ambruk. Adapun pada 2016, terjadi pembatasan kendaraan berat yang lewat Jembatan Tol Cisomang di ruas Tol Purbaleunyi, Jawa Barat. Pada jembatan itu ditemukan pergeseran pilar sehingga pilar perlu diperkuat. Penguatan fondasi dan pilar diharapkan dapat menghentikan pergeseran yang terjadi.
Meskipun peristiwa tersebut tidak terjadi pada lokasi dan waktu yang sama, ada satu benang merahnya, yakni kendaraan dengan muatan dan ukuran berlebih atau overdimension overload.
Di Jembatan Way Mesuji, kepolisian menyatakan, kekuatan jembatan hanya dapat menahan beban maksimal 30 ton. Sementara bobot dua truk bermuatan semen dan sawit di atasnya mencapai 60 ton. Di Jembatan Cincin Lama, beban tiga truk yang terperosok di jembatan itu diperkirakan 130 ton. Bobot dan berat kendaraan yang melintas di atas jembatan itu jauh melebihi kekuatan jembatan yang hanya mampu menahan 40 ton dengan toleransi beban maksimal 70 ton. Di Jembatan Tol Cisomang, beban kendaraan berat mempercepat kerusakan jembatan.
Memang, beban berlebih bukan penyebab tunggal. Ada faktor lain, seperti usia jembatan yang mungkin sudah tua dan persoalan perawatan jembatan secara berkala. Namun, variabel yang nyaris selalu ada dalam setiap insiden tersebut adalah kendaraan dengan beban berlebih.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pernah meneliti untuk menguji beban kendaraan jenis truk yang lewat di beberapa jembatan di ruas jalan nasional. Hasilnya, 65 persen truk memuat beban melebihi kapasitas.
Persoalannya, daya rusak truk dengan beban berlebih bukan linier, melainkan pangkat empat. Misalnya, kelebihan beban dua kali dari seharusnya bedanya rusak terhadap jalan dan jembatan sebesar dua pangkat empat atau 16 kali lipatnya.
Biaya
Saat ini, truk masih menjadi andalan angkutan logistik. Di Jawa, 90 persen angkutan logistik menggunakan truk. Kemampuannya membawa barang dari titik awal menuju titik akhir tanpa perlu berpindah moda angkutan menjadikan truk lebih unggul dibandingkan dengan moda lain.
Akan tetapi, sebagian besar truk mengangkut muatan yang melebihi kapasitasnya. Kendaraan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mengangkut beban lebih banyak. Dengan cara demikian, ongkos bisa ditekan.
Meski angkutan truk dinilai efisien, sebenarnya tetap ada biaya yang harus dibayar di sisi yang lain. Kerusakan jalan ataupun kerusakan jembatan menjadi lebih sering. Akibatnya, biaya untuk perbaikan menjadi lebih besar. Efisiensi yang dinikmati pemilik angkutan truk dan pengguna jasa sebenarnya tidak gratis karena menimbulkan biaya di sisi yang lain, terutama waktu dan pajak yang dibayar masyarakat.
Namun, masalah ini seolah dibiarkan tanpa ada pencegahan yang lebih sistematis. Insiden jembatan ambles atau roboh menjadi bukti pembiaran yang terus terjadi. Bahkan, dalam beberapa kasus di jalan tol, truk dengan muatan berlebih akan berjalan lambat dan menimbulkan kecelakaan karena tertabrak dari belakang. Nyawa pun melayang.
Idealnya, pemeriksaan truk dilakukan sejak di kawasan industri atau di awal pengangkutan, bukan di tengah jalan seperti yang dilakukan di jembatan timbang saat ini. Dengan pemeriksaan truk di awal perjalanan, kelebihan muatan bisa langsung dibongkar dan diturunkan. Sebab, jika hanya ditilang tanpa mengurangi muatan, kerusakan jalan atau jembatan tetap terjadi.
Memang tidak mudah membenahi persoalan ini sebab jembatan timbang dituntut memiliki lahan sebagai tempat muatan diturunkan. Di sisi lain, agar biaya logistik bisa ditekan, infrastruktur pendukung harus mumpuni sampai ke pelosok daerah. Selain itu, diperlukan ketegasan otoritas terkait untuk menegakkan hukum.
Jika berbagai hal itu tidak dilakukan, insiden jembatan ambles atau roboh tinggal menunggu waktu. Kondisi ini hanya puncak gunung es dari karut-marut masalah logistik, infrastruktur, dan penegakan hukum di negeri ini. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA)