JAKARTA, KOMPAS — Program registrasi dan sertifikasi pengembang perumahan ditolak sebagian pengembang. Menurut pengembang, sertifikasi itu membuat mereka merasa diposisikan sama dengan kontraktor.
Sejak tahun lalu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meregistrasi pengembang. Langkah itu dilakukan untuk melindungi masyarakat atau konsumen dari pengembang yang tidak bertanggung jawab, khususnya dalam program rumah yang menerima subsidi pemerintah.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Dalam PP itu, pengembang rumah subsidi diwajibkan memiliki sertifikat laik fungsi (SLF). Kemudian, terbit Peraturan Menteri PUPR No 24 Tahun 2018 tentang Akreditasi dan Registrasi Asosiasi Pengembang Perumahan serta Sertifikasi dan Registrasi Pengembang Perumahan. Menurut rencana, Permen PUPR itu mulai diberlakukan pada Desember tahun ini. Namun, pengembang belum sepakat dengan hal itu.
”Kami masih keberatan dengan peraturan itu. Kami masih menolak sertifikasi,” kata Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida, Rabu (26/6/2019), di Jakarta.
Menurut Totok, REI menolak karena sertifikasi itu dipandang menempatkan pengembang sama dengan kontraktor. Sementara, REI menilai pengembang tidak hanya membangun rumah atau gedung, tetapi juga menciptakan hunian beserta lingkungan sosialnya.
REI menilai sertifikasi yang menyasar asosiasi pengembang perumahan dan anggotanya itu tidak tepat. Sebab, sertifikasi tersebut mengandaikan setiap perusahaan pengembang perumahan memiliki tenaga ahli. Padahal, tidak semua pengembang di daerah memiliki tenaga ahli.
Di samping itu, lanjut Totok, REI telah memiliki tim sertifikasi yang diakui secara legal oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Tim ini yang akan menyertifikasi 6.200 pengembang anggota REI.
Terkait proses sertifikasi, REI telah menyampaikan keberatan tertulis kepada Kementerian PUPR. Namun, menurut Totok, sampai saat ini belum ada pembicaraan lebih lanjut mengenai sistem registrasi pengembang.
Pandangan berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali. Menurut Daniel, sejak awal, Apersi mendukung program sertifikasi.
Saat ini, Apersi beranggotakan 3.500 pengembang yang sekitar 95 persennya adalah pengembang kecil yang membangun rumah subsidi.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Eko Djoeli Heripoerwanto mengatakan, ada 18 asosiasi pengembang perumahan yang terdaftar di dalam sistem registrasi pengembang. Adapun jumlah pengembang perumahan yang terdaftar 11.410 pengembang. (NAD)